REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan atau Aher mengaku dikonfirmasi dua hal dalam pemeriksaannya sebagai saksi kasus suap terkait pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi. Hari ini, Aher diperiksa oleh penyidik KPK sebagai saksi untuk tersangka Sekda Jabar nonaktif, Iwa Karniwa.
"Saya ditanya pertama di Jawa Barat kan ada Kepgub (keputusan gubernur) tentang BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Selama tahun 2010 sampai 2016 itu dikepalai oleh Sekda (Iwa Karniwa)," ujar Aher, usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (4/10).
"Kemudian tahun 2016 berdasarkan Kepgub Nomor 120 Tahun 2016 ada pergantian. Yang asalnya Ketua BKPRD-nya Pak Sekda diganti Pak Wagub (Deddy Mizwar), Pak Sekda jadi Wakil Ketua," ujar Aher menambahkan.
Terkait hal tersebut, ia pun mengaku ditanya oleh penyidik KPK soal pergantian ketua BKPRD tersebut. "Saya jawab pertama tentu pergantian itu sesuai aturan. Setelah kami konsultasi berbagai tempat termasuk dianalisa oleh biro hukum, pergantian itu boleh. Jadi, tidak ada masalah secara hukum karena diperbolehkan," ujar Aher.
Alasan lain pergantian itu, lanjut dia, ia menginginkan agar masyarakat tidak dirugikan adanya kebocoran dokumen dari BKPRD. "Tentu kami ingin BKPRD ini kan menangani tata ruang, kami ingin integritasnya lebih tinggi karena kami khawatir di lapangan ada hal-hal yang kurang baik merugikan masyarakat gara-gara ada kebocoran dari BKPRD karena kan dokumen belum selesai bocor. Oleh karena itu, saya nyaman kalau kemudian Pak Wagub-lah yang menjadi Ketua BKPRD," kata Aher.
Selanjutnya, ia juga mengaku dikonfirmasi penyidik KPK tentang kelanjutan proses-proses rencana detail tata ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi. "Saya jawab bahwa secara umum saya mengetahui ada kelanjutan proses proyek Meikarta yang baru clean and clear 84,6 hektare. Ada proses berikutnya untuk menyesuaikan lahan berikutnya dengan perubahan RDTR. Ketika saya ditanya tentu kalau rencana ada, penyesuaian ada, ada kelanjutan proses saya tahu tetapi detail prosesnya saya tidak tahu," ujarnya.
Untuk diketahui, tersangka Iwa meminta uang Rp1 miliar untuk penyelesaian Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di Provinsi Jabar. Permintaan tersebut diteruskan pada salah satu karyawan PT Lippo Cikarang dan direspons bahwa uang akan disiapkan.
Beberapa waktu kemudian pihak Lippo Cikarang menyerahkan uang pada Neneng Rahmi. Kemudian pada Desember 2017 dalam dua tahap, Neneng melalui perantara menyerahkan uang pada tersangka Iwa dengan total Rp900 juta terkait pengurusan RDTR di Provinsi Jabar.
Selain Iwa, KPK pada Senin (29/7) juga telah menetapkan mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang Bartholomeus Toto (BTO) sebagai tersangka dalam pengembangan perkara kasus Meikarta tersebut. Tersangka Iwa oleh KPK telah ditahan pada Jumat (30/8). Sedangkan tersangka Bartholomeus belum dilakukan penahanan.