Rabu 02 Oct 2019 08:03 WIB

Cerita Pilu Penyintas Kerusuhan Wamena

NKRI tetap NKRI. Saya harap tidak ada lagi konflik.

Warga Wamena yang diangkut menggunakan pesawat Hercules milik TNI AU tiba di Sentani, Jayapura, Papua, Selasa (1/10/2019).
Foto: Antara/Gusti Tanati
Warga Wamena yang diangkut menggunakan pesawat Hercules milik TNI AU tiba di Sentani, Jayapura, Papua, Selasa (1/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Febrian Fachri

Hingga saat ini, para pelaku kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, pada Senin (23/9) lalu, terlebih aktor intelektualnya, masih misterius. Pemerintah menuding kerusuhan itu dilakukan anggota kelompok separatis bersenjata yang beroperasi di pegunungan tengah Papua.

Erizal (40), warga asal Sungai Rampan, koto Nan Tigo IV koto Hilie, Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan, masih terlihat banyak merenung, kemarin. Kepala penyintas kerusuhan di Wamena, Papua, ini penuh bekas luka tusuk dan luka bakar. Telinga kiri Zal, begitu sapaan akrabnya, masih tertutup perban karena masih belum sembuh.

Zal juga harus menghadapi kenyataan bahwa istrinya, Novriyanti (40), dan putra bungsunya, Ibnu (8), menjadi korban meninggal dalam kerusuhan di Wamena. Selain keduanya, Zal juga kehilangan Yoga (28), keponakannya.

"Itu kejadian jam 9 pagi. Saya dikasih tahu kalau ada orang berkelahi. Saya disuruh tutup kios dan jemput anak ke sekolah," kata Zal di kantor ACT Sumbar, di Kota Padang, Selasa (1/10). Zal menjemput anaknya ke sekolah yang tak jauh dari kantor Bupati Jayawijaya. Dari sekolah Ibnu, Zal melihat api sudah berkobar di kantor bupati.

Setelah menjemput Ibnu, Zal bersama istri dan anaknya pergi lari ke belakang rumahnya. Di sana ada honai atau rumah adat Papua milik warga setempat. Tiga warga asli Wamena kemudian berupaya menyelamatkan mereka. Salah satunya adalah tuan tanah tempat Zal mengontrak kios dan rumah.

Zal menyebut, ada 10 orang yang dibantu bersembunyi. Setelah satu jam bersembunyi, Zal mencoba meminta bantuan kepada teman-temannya yang sudah mengungsi ke markas Kodim Wamena. Nahas, pihak di kodim dan pengungsi lain tak dapat menjemput karena mobil tak dapat menjangkau lokasinya. Perusuh telah menghalangi jalan buat kendaraan masuk.

Ketika masih bersembunyi di honai, Zal mengingat sudah ada 30 orang membawa senjata tajam, panah, dan bensin, menunggu di luar. "Mereka datang dan bicara dengan tuan rumah kami ini. Mereka bilang tidak senang dengan keberadaan kami," tutur Zal.

Mengetahui sang tuan rumah tampaknya tak bisa menahan para perusuh, Zal bersama sembilan orang lainnya yang bersembunyi di honai memasrahkan diri dan saling meminta maaf. Mereka lalu bersembunyi di dalam gulungan kasur, tetapi tak luput dari tikaman senjata tajam.

Zal juga mendapat tikaman pada bagian kepala. Terluka parah, ia tidak dapat lagi memastikan bagaimana keadaan Novriyanti dan Ibnu buah hatinya.

Setelah para perusuh merasa semua korbannya tak lagi bernyawa, barulah honai itu kemudian disiram bensin dan dibakar. Saat perusuh sudah pergi, Zal yang sempat berpura-pura mati kemudian keluar dan meminta bantuan. Dua jam kemudian datang mobil brimob dan ambulans yang membawa Zal ke rumah sakit.

"Saya menelepon putra sulung saya si Gian yang sekolah di Padang Panjang. Di situ saya bilang ‘ayah baik-baik saja'. Tapi, ibu sama adik sudah tidak ada lagi. Sekolahmu tetap lanjutkan’," kata Zal mengulang percakapannya dengan Gian yang duduk di bangku SMP. Zal kemudian ikut pulang ke Pesisir Selatan bersamaan dengan jenazah para korban dari wilayah itu.

Enam tahun lebih merantau ke Wamena, Zal beraktivitas menjual sembako. Selama merantau ke Wamena, ia merasa tidak pernah mempunyai musuh. Ia menuturkan, adik ipar atau adik kandungnya, Novriyanti, juga diselamatkan warga asli Wamena.

Zal juga mengklaim berteman akrab dengan anggota kelompok separatis bersenjata dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memang biasa berbaur dengan warga. Ia meyakini, 30 pelaku yang menewaskan keluarganya bukan dari kelompok itu.

"Kalau sama orang-orang OPM, saya kenal. Dan, yang 30 orang itu bukan dari OPM. Saya tidak tahu mereka siapa dan datang dari mana tiba-tiba beraksi brutal seperti itu," kata dia. Zal menyebut, orang-orang asli Wamena yang ia kenal juga tak mengetahui identitas pelaku kerusuhan.

Saat ini, Zal masih ingin menenangkan diri di rumah orang tuanya. Ia masih belum bisa memutuskan hendak kembali ke Papua. Zal mengatakan, ada jutaan asetnya berupa sembako dan sepeda motor habis dibakar perusuh. Bagaimanapun, ia berharap Wamena segera pulih dan tidak terjadi lagi konflik. "NKRI tetap NKRI. Saya harap tidak ada lagi konflik," ujar Zal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement