Selasa 01 Oct 2019 10:06 WIB

Para Srikandi Penembus Langit

Anisa dan Mega sama-sama dipercaya untuk mengendalikan pesawat angkut.

Letda Pnb Mega Coftiana menjadi salah satu dari dua lulusan pilot perempuan pertama dari Akademik Angkatan Udara (AAU).
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Letda Pnb Mega Coftiana menjadi salah satu dari dua lulusan pilot perempuan pertama dari Akademik Angkatan Udara (AAU).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Wilda Fizriyani

Baca Juga

Untuk kali pertama Akademik Angkatan Udara (AAU) menghasilkan dua pilot perempuan di Indonesia. Kedua perempuan hebat tersebut adalah Letda Penerbang (Pnb) Anisa Amalia Octavia dan Letda Pnb Mega Coftiana.

Anisa dan Mega memiliki riwayat pendidikan yang serupa, yakni lulusan SMA Taruna Nusantara. Lalu, keduanya melanjutkan pendidikan di AAU selama empat tahun di Magelang dan Yogyakarta. Setelah lulus, mereka mencoba masuk ke sekolah penerbangan hingga kemudian menjadi pilot perempuan pertama dari AAU.

Pada penempatan, Anisa dan Mega sama-sama dipercaya untuk mengendalikan pesawat angkut. Yang membedakan, Anisa pada pesawat Hercules C-130, sedangkan Mega di kelas CASA 212. Capaian ini membuat Anisa menjadi pilot perempuan pertama untuk pesawat Hercules C-130.

Kepada Republika, Anisa mengaku bangga dan senang berhasil menjadi pilot perempuan pertama pesawat Hercules. Namun, capaian ini juga menjadi beban morel bagi perempuan kelahiran Sleman, 13 Oktober 1994 tersebut. “Soalnya saya kan pertama dan menjadi contoh nantinya untuk adik penerus. Saya menjadi percobaan bisa atau enggak dikasih Hercules,” kata Anisa, Senin (30/9).

Di balik keberhasilan Anisa saat ini sebenarnya ada perjuangan yang cukup besar. Semula, Anisa ragu untuk masuk dan menjadi bagian dari sekolah penerbangan. Fobia ketinggian dan izin dari orang tua merupakan faktor utama keraguan tersebut.

Saat proses seleksi, Anisa masih begitu ingat bagaimana tegang dan kaku badannya saat kali pertama menerbangkan pesawat. Namun, Anisa berusaha menutup kelemahannya ini di hadapan para instruktur. Lalu, tanpa disangka, Anisa tetap dinyatakan lolos menjadi bagian sekolah penerbangan.

“Sudah telanjur masuk, ya sudah, dilaksanakan dan berusaha melewatinya sampai selesai. Saya enggak bisa mundur lagi. Saya harus selesaikan pendidikan itu dan mengubah mindset,” kata perempuan berhijab ini.

Fobia ketinggian yang telah muncul sejak kecil kini sudah menghilang. Anisa tidak tahu persis kapan fobia tersebut lenyap dalam dirinya. Namun, ia meyakini fobia tersebut lenyap karena dia telah terbiasa dengan ketinggian.

“Karena saya mikir-nya kalau saya mempertahankan fobia, saya akan terseok di pendidikan. Jadi, saya coba hilangkan agar bisa mudah menyelesaikan pendidikan,” kata anak pertama dari tiga bersaudara ini.

Sekarang Anisa setidaknya sudah memiliki 100 jam terbang pada pesawat latih jenis TP-120. Kemudian, dia juga pernah memiliki 100 jam terbang pada pesawat jenis KT 1 B. Sementara itu, untuk pesawat Hercules, dia memiliki sekitar delapan jam terbang.

“Sekarang juga saya jadi senang melakukan manuver ekstrem pesawat. Orang tua juga sudah mengizinkan. Malah ibu selalu mendoakan saya,” katanya menambahkan.

photo
Letda Pnb Mega Coftiana dan Letda Pnb Anisa Amalia Oktavia menjadi dua pilot perempuan pertama yang lulus dari Akademik Angkatan Udara (AAU). Keduanya sama-sama ditempatkan di pesawat angkut, baik jenis Hercules C-130 maupun CASA 212.

Rasa bangga menjadi pilot perempuan pertama dari AAU tidak hanya dirasakan Anisa tetapi juga oleh Mega. Dia selalu berpikir bahwa profesi pilot selama ini identik dengan laki-laki. Namun, stigma itu kini terpecahkan setelah dia menjadi bagian dari penerbang.

Mega tidak mempermasalahkan bahwa dia bukan pilot perempuan pertama pada pesawat CASA 212. Pasalnya, telah ada perempuan hebat sebelumnya yang menggeluti bidang tersebut. Namun, tetap saja pilot perempuan di pesawat jenis tersebut masih sangat sedikit.

“CASA memang sudah ada, tapi kebanyakan hampir sudah pensiun semua. Kalau Hercules memang baru pertama itu Kak Nisa,” ujar dia.

Meski bukan pertama, Mega tetap memandang profesi penerbang pada pesawat angkut tidak mudah. Hal ini terutama pada penggunaan alat kontrol pesawat yang cukup membuatnya kewalahan. “Kalau pesawat latih kan pakai joystick ringan satu engine. Kalau sekarang pakai pesawat yang dua engine. Malah dia (Anisa) pakai empat. Semakin banyak (joystick), jadi semakin berat,” kata perempuan kelahiran 1995 ini.

Karena keterbatasan kekuatan, Mega dan Anisa pun ditekankan untuk terus melatih raganya. Kedua perempuan yang kini ditugaskan di Lanud Abdulrachman Saleh, Malang, tersebut harus melakukan olahraga push-up dan mengangkat barbel setiap hari. Upaya ini ditujukan agar kedua tangan mereka bisa lebih kuat saat mengendalikan alat kontrol pesawat.

Saat ini Mega dan Anisa menegaskan akan terus berupaya dan melatih diri menjadi lebih baik. Keduanya akan tetap semangat menggeluti profesinya sebagai penerbang meski sulit. Selain membantu banyak pihak, pemahaman profesinya ini kelak dapat dipelajari penerusnya. n ed: mas alamil huda

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement