REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Ombudsman Republik Indonesia Ahmad Suaedy menyarankan pemerintah memerlukan multicultural policy atau kebijakan multikultural untuk mengatasi permasalahan di Papua. Menurutnya, kebijakan itu bisa menyelesaikan akar permasalahannya.
"Harus dibikin ada dibangun multicultural policy dalam penataan kota di mana khususnya di Papua," ujar Suaedy saat ditemui Republika di Kantor Ombudsman, Jakarta Selatan, Senin (30/9).
Ia menuturkan, pemerintah juga harus melakukan pendekatan psikologis kepada masyarakat untuk mengatasi permasalahan yang selama ini timbul. Suaedy mengatakan, perlu adanya kebijakan multikultural dari pemerintah untuk mengatasi masalah di Papua tanpa menghilangkan adat dan kearifan lokal.
Dengan demikian, ia mengatakan, tak ada lagi segregasi atau pemisahan antara golongan yang satu dengan yang lainnya. Papua yang menjadi bagian dari Indonesia juga dapat terdiri dari budaya yang beragam harus dijaga agar suatu daerah tidak dikuasai oleh satu etnis tertentu.
"Kalau mereka bergaul membuat mobilisasi katakankah sentimen itu kan agak sulit ya. Kalau mereka terpisah tempatnya segregasi ini akan mudah terbawa itu. Jadi dijaga supaya tidak terjadi segregasi," kata dia.
Ia mengharapkan Indonesia bisa mencontoh Pemerintah Singapura dalam menyikapi masalah masyarakat Melayu saat itu. Singapura membangun hunian flat yang terdiri dari berbagai latar belakang sehingga tak ada satu golongan yang lebih menonjol.
Selain itu, Ahmad Suedy juga mengatakan, kedetakan antara tokoh Papua baik tokoh adat maupun agama, masyarakat akar rumputnya, warga pendatang, dan pemerintah menjadi sesuatu yang mutlak terjadi. Jika sejumlah pihak memiliki komunikasi yang baik, berbagai persoalan masyarakat Papua akan bisa diatasi dengan cepat dan mudah.
Sebelumnya, Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan empat akar masalah yang menyebabkan konfllik di Papua terus berlanjut. Empat masalah tersebut, yakni diskriminasi, penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia, kegagalan pembangunan, dan status politik Papua.
Penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia sudah berlarut sejak Orde Baru hingga ke era reformasi saat ini. Pendekatan respresif yang dilakukan di Orde Baru sudah dicabut, tetapi sampai saat ini masih ada pelanggaran HAM.
Terkait kegagalan pembangunan, hasil riset LIPI menemukan kondisi kemiskinan yang makin tinggi di wilayah yang mayoritas masyarakatnya adalah orang asil Papua (OAP). Padahal, otonomi khusus Papua sudah berjalan hampir 20 tahun.
Status politik Papua dan sejarah politik Papua yang merujuk pada perbedaan pandangan tentang status politik dan integrasi Papua masuk ke Indonesia.