Senin 30 Sep 2019 09:43 WIB

Pengungsi Wamena Menangis Minta Pulang ke Kampung Halaman

Kondisi Wamena belum kondusif, kabar kerusuhan susulan masih terus beredar.

Rep: Febrian Fachri/ Red: Muhammad Subarkah
Warga antre menaiki pesawat milik TNI di Bandara Wamena, Jayawijaya, Papua, Sabtu (28/9/2019).
Foto: ANTARA FOTO/Iwan Adisaputra
Warga antre menaiki pesawat milik TNI di Bandara Wamena, Jayawijaya, Papua, Sabtu (28/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Ketakutan dan trauma masih sukar hilang dari para penyintas kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, yang terjadi pada Senin (23/9) lalu. Para pengungsi dari wilayah tak sedikit yang memohon diangkut pulang ke daerah masing-masing.

Misri Astuti, warga asal Pesisir Selatan, Sumatra Barat (Sumbar), mengaku sudah tidak sanggup lagi bertahan di Wamena. "Kami sudah tidak sanggup lagi, Pak. Ungsikan kami ke kampung halaman," kata Misri sambil terisak menangis saat dihubungi Republika, Sabtu (28/9) malam. Dengan suara tercekat, Misri menceritakan keadaan di Wamena saat ini masih sangat mencekam. Kabar-kabar bakal terjadi kerusuhan susulan masih terus beredar.

Menurut Misri, warga pendatang termasuk yang berasal dari Sumbar banyak yang sekarang tidak memiliki apa-apa lagi. Bahkan, untuk makan saja mereka sekarang kesusahan karena harta benda mereka sudah habis dibakar. Misri memohon untuk segera diungsikan oleh pemerintah karena takut mengalami nasib serupa dengan rekan-rekannya. "Kasihan anak-anak kami masih kecil. Tolong segera kirimkan bantuan, Pak. Kita tidak mau mati sia-sia di sini," ujar Misri meratap.

Leni warga asal Sumbar lainnya yang saat ini juga mengungsi ke markas Kodim di Wamena mengatakan, kiosnya tempat berdagang selama ini sudah habis terbakar. Ia termasuk banyak dari warga pendatang sekarang tidak punya apa-apa lagi karena tak sempat menyelamatkan harta benda. "Kios sudah terbakar. Pakaian tinggal hanya yang dipakai ini saja lagi," ucap Leni.

Leni mengatakan, pada Sabtu, tidak ada pesawat yang masuk ke Wamena. Ia berharap ada pesawat yang masuk ke Wamena agar dirinya dan para korban dapat menumpang dan mengungsi, setidaknya ke Jayapura. Dari situ, Leni menyatakan ingin pulang kampung ke Sumbar.

Ia mengaku melihat langsung dengan mata kepalanya kerusuhan yang merenggut banyak nyawa di Wamena pada Senin (23/9) lalu. Ia yakin, selain puluhan yang hilang, masih ada ratusan yang hilang dan luka-luka. "Makanya apa yang diinformasikan tidak sama dengan yang sebenarnya terjadi. Kami karena merasakan dan melihat langsung di sini, belum kondusif," ujar Leni.

Sedangkan, Pardjono, seorang pegawai asal Jawa Tengah menuturkan, kabar-kabar soal kembali terjadinya penyerangan terus terdengar di pengungsian. “Ini kami dengar ada penyerangan lagi,” kata dia yang mengungsi di kompleks Lanud AURI, Wamena.

Ia mengatakan, ribuan warga masih menunggu dipulangkan dari Wamena. “Masih banyak yang belum terangkut, masyarakat Minang sudah terdata seribu yang akan pulang kampung,” kata dia kepada Republika, kemarin.

Pardjono menuturkan, sudah sejak Senin mengungsi di lanud. Kendati demikian, ia tak kunjung mendapatkan kesempatan berangkat. “Mau pulang, tapi //nyari// pesawat belum bisa terangkut,” kata dia. Menurut dia, kebanyakan pengungsi berharap dipulangkan langsung ke kampung halaman. Mereka menilai kondisi seantero Papua tak berbeda dengan di Wamena.

Ia menuturkan, saat kerusuhan terjadi, tak sedikit warga lokal yang membantu warga pendatang menyelamatkan diri. “Jadi, ini seperti terkordinasi, ada orang luar yang tidak pernah kami lihat masuk dan kemudian bikin kerusuhan,” ujarnya.

            Keterangan Foto: Suasana Pasar Wamena di kala belum terjadi kerusuhan.

Aktor kerusuhan

Ketua Dewan Adat Papua Domin Surabut menekankan, yang merasakan trauma tak hanya warga pendatang. Warga lokal Wamena juga merasakan ketakutan serupa. “Siapa aktor intelektual kerusuhan ini tidak jelas. Situasi demonstrasi kemarin aneh, macam ada yang sudah setting mengondisikan supaya tiba-tiba meledak,” kata dia.

Salah satu cara mengurangi kepanikan dan trauma warga lokal dan pendatang, menurut dia, adalah menemukan aktor pemicu kerusuhan itu. Ia yakin warga tempatan di Wamena tak punya niat melakukan kerusuhan, apalagi hingga menimbulkan korban jiwa.

Menurut Domin, hingga Ahad (29/9), Kota Wamena masih sepi. “Semua yang hidup di kota ini sudah keluar dan mengungsi,” kata dia. Menurut dia, hanya sedikit saja dari sekitar 30 ribu penduduk kota itu yang masih tinggal untuk berjaga-jaga. Lainnya sudah mengungsi di berbagai tempat.

Warga lokal di Wamena, kata Domin, mengungsi ke daerah-daerah pinggiran Wamena. Lainnya juga mengungsi ke kampung-kampung di kabupaten lain di sekitar Wamena. Sejauh ini, para pengungsi lokal itu mendapat bantuan makan dan minum dari pemerintah kabupaten setempat.

Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno mengatakan, warga Sumbar yang merantau di Wamena selama ini dikenal sangat akrab dengan warga Papua yang ada di kota tersebut. "Kalau dengan warga Papua yang ada di Wamenanya, orang Sumbar di sana sangat akrab. Bersahabat," kata Irwan, Ahad (29/9).

Pembunuhan terhadap warga Sumbar dan warga pendatang lainnya di Wamena, kata Irwan, tidak dilakukan warga Papua di Wamena. Ia mengaku mendapat laporan bahwa yang melakukan itu adalah warga dari wilayah lain yang tiba-tiba menyulut kerusuhan.

Menurut Irwan, orang Papua asli Wamena saat kerusuhan tidak dapat melindungi warga pendatang karena mereka juga harus berlindung agar tidak menjadi korban kerusuhan.

"Para korban (nyawa) ini awalnya mengira akan baik-baik saja karena merasa tidak ada salah, tapi ternyata tidak begitu,\" ujar Irwan. Saat ini, kata Irwan, warga Sumbar yang mengungsi di Sentani, Jayapura, ada sekitar 300 orang, sementara di Wamena diperkirakan mencapai ribuan orang.

Kerusuhan meletus di Wamena menyusul aksi yang dipicu kabar soal tindakan rasial seorang guru di wilayah itu. Ratusan siswa SMK/SMK yang kebanyakan berseragam menuntut guru terkait diproses hukum.

Dalam perjalanan aksi, para peserta unjuk rasa menjadi emosional dan melempari sejumlah bangunan. Tindakan itu dibalas aparat keamanan dengan tembakan gas air mata dan penembakan. Aksi kemudian berujung ricuh dan massa melakukan pembakaran terhadap sejumlah gedung pemerintahan dan toko-toko.

Sedikitnya 33 orang meninggal dalam peristiwa itu. Korban meninggal datang dari warga asli setempat juga pendatang. Sedikitnya, 10 ribu warga di Wamena mengungsi saat ini.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan (Sulsel) dr Bachtiar Baso mengatakan, sebanyak sembilan jenazah warga Sulsel telah tiba di Makassar dan selanjutnya diberangkatkan ke daerah masing-masing. Menurut dia, sembilan jenazah itu merupakan warga dari berbagai daerah di Sulsel, seperti Kabupaten Enrekang, Toraja, Makassar, dan dari Kabupaten Luwu Timur.

"Kami sudah siapkan tim untuk itu (pemulangan jenazah). Kemarin saya langsung menjemput tiga jenazah dari Wamena di Bandara Hasanuddin," kata dia, di Makassar, Ahad (29/9).

Adapun nama dan asal sembilan jenazah warga Sulsel yang telah diterbangkan dari Papua yakni Rustam (33 tahun), Irma (25), Ilmi, (2) dan Erwin (17) asal Enrekang. Selanjutnya, Muh Subhan asal Makassar dan Risda (24) asal Karujaya, Makassar. Tiga lainnya yakni masing-masing Yohanis Karangan dan Yunus Todingbua (40) asal Toraja serta Rahul yang telah diberangkatkan ke Mangkutana Luwu Timur, Sulsel."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement