Jumat 27 Sep 2019 13:58 WIB

Dua Unjuk Rasa, Dua Wajah Polisi

Polisi dipersepsikan dalam wajah berbeda dalam menangani unjuk rasa.

Ratna Puspita
Foto: dok. Republika
Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ratna Puspita*

Wajah polisi dengan cepat berubah. Menilik dari tanggapan warga atau bahasa kekiniannya hype-di media sosial, polisi seperti memiliki dua wajah, di mana satu wajah menunjukkan cermin atau citra yang sangat berbeda dari yang lain, dalam menangani dua peristiwa unjuk rasa di Jakarta.

 

Hanya dalam waktu empat bulan, kepolisian menghadapi dua peristiwa unjuk rasa besar di Jakarta. Unjuk rasa pertama terjadi pada 23 dan 24 Mei silam.

Unjuk rasa itu terkait dengan hasil Pemilihan Umum Presiden 2019 yang memenangkan pasangan calon Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma’ruf Amin. Kala itu, massa yang dihadapi adalah massa pendukung calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Empat bulan berselang, tepatnya pada Selasa (24/9) dan Rabu (25/9), demonstrasi kembali terjadi. Kali ini, tidak ada urusan polarisasi politik. Persoalannya bukan lagi pada kubu demonstran adalah pihak yang kalah dalam kontestasi politik. Kubu yang dihadapi oleh kepolisian adalah mahasiswa.

Pada dua peristiwa ini, warga yang hanya bisa menyaksikan perkembangan melalui media sosial pun berpartisipasi melalui komentar, berbagi foto, dan video. Berdasarkan penilaian terhadap pesan-pesan yang dibagikan oleh warganet, ada dua ’wajah’ kepolisian.

Saya masih ingat notifikasi Whatsapp saya yang menyala berkali-kali lantaran pesan menanyakan kondisi Jakarta pada empat bulan lalu. Masyarakat yang berada di luar Jakarta menyaksikan unjuk rasa di depan Gedung Bawaslu RI, Jakarta Pusat, melalui televisi dan media sosial.

Berdasarkan visualisasi di televisi dan unggahan-unggahan di media sosial, teman dan keluarga yang berada di luar Ibu Kota mengira kondisi Jakarta sangat genting. Saat itu, saya menjawab, “Iya, genting di depan Bawaslu dan sekitarnya.” Saya menjawab demikian lantaran secara umum kondisi DKI baik-baik saja dan bisa beraktivitas seperti biasa.

Selain pertanyaan tentang kabar, lalu lintas perbincangan di Whatsapp terkait personel polisi yang bertugas mengamankan unjuk rasa. Misalnya, shalat berjamaah dengan peserta demo, video call dengan anak, sampai cerita-cerita mereka harus meninggalkan keluarga atau tidak mandi lantaran terus berjaga.

Hype serupa tidak hanya tersebar melalui Whatsapp, melainkan juga media sosial lain. Karena itu, empat bulan lalu, ada orang-orang yang kemudian mengumpulkan donasi untuk kepolisian yang bertugas. Donasi untuk makanan hingga pakaian dalam. Dengan kata lain, citra polisi kala itu diperspepsikan dengan baik oleh publik.

Namun, perspepsi warganet terhadap wajah polisi pada unjuk rasa kedua sangat berbeda. Foto yang menunjukkan kelelahan kepolisian mengawal unjuk rasa masih muncul di media sosial. Bahkan, foto memandangi anak melalui layar ponsel pun sempat muncul juga di media sosial. Ada juga berita soal kepolisian membagikan makanan.

 

Kendati demikian, hype warganet bukan pada visualisasi yang memunculkan simpati. Pesan-pesan yang dibagikan oleh warganet bukan pesan yang memberikan perspepsi positif bagi kepolisian. Sebaliknya, tulisan, foto, dan video yang beredar justru memunculkan kemarahan bagi warganet.

Marah terhadap aksi represif. Terlepas dari apakah konten di media sosial tersebut sudah terverifikasi atau belum, warganet mengeluarkan kemarahannya kepada aksi polisi yang masuk masjid menggunakan sepatu ketika mengamankan demonstran.

Pada bagian lain, ada video yang menunjukkan sejumlah aparat memukuli demonstran. Video yang juga viral di media sosial, yakni seorang dipukuli dengan latar belakang suara perempuan berteriak meminta pukulan dihentikan.

Hype warganet yang berbeda ini yang kemudian memunculkan persepsi berbeda soal polisi dari orang baik menjadi orang yang tidak baik, dari pahlawan menjadi musuh yang harus dilawan bersama. Persepsi, pendapat, dan pemaknaan berbeda soal kepolisian yang menjalankan tugas pada dua aksi unjuk rasa tersebut tidak bisa dilepaskan juga dari keterlibatan warganet terhadap tuntutan unjuk rasa.

Di sisi lain, bisa jadi dua wajah kepolisian itu sebenarnya adalah wajah kepolisian. Jika kemudian yang tampil di media sosial berbeda maka hal tersebut lantaran kecenderungan warganet yang ingin melihat apa yang ingin dia lihat, yang ingin mendengar apa yang ingin dia dengar.

Sebab, kalau diingat pada kejadian demonstrasi pertama, upaya kepolisian yang represif terhadap demonstran pun masih ada. Bahkan, lembaga-lembaga HAM turut berkomentar terkait tindakan kepolisian dalam unjuk rasa ini.

Di tengah hiruk-pikuk soal kinerja polisi menghadapi demonstrasi, saya pun teringat konsep democratic policing atau pemolisian demokratis dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Konsep tersebut mengusung paradigma “kepolisian yang demokratis”. Polisi dalam alam demokrasi dituntut menjadi pelayan masyarakat sipil, yang tak militeristik, lebih akuntabel, responsif, transparan, dan tak menghalalkan kekerasan.

Untuk mencapai tersebut, Polri harus melakukan perubahan total mulai dari struktur, sistem, hingga budaya. Sebagai bagian dari masyarakat sipil, kepolisian juga perlu menjunjung norma masyarakat. Sebagai tambahan, polisi dalam alam demokrasi harus menghormati HAM.

Agaknya, masih sangat panjang jalan untuk mewujudkan pemolisian demokratis, ya, Pak Tito?

*) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement