Kamis 26 Sep 2019 18:23 WIB

Temui Jokowi, Mahfud: Perppu KPK Hak Subjektif Presiden

Presiden bisa saja mengeluarkan Perppu jika memang dirasa dalam keadaan genting.

Rep: Sapto Andika/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Jokowi mengundang tokoh nasional untuk membahas kondisi kebangsaan di Istana Merdeka, Kamis (26/9).
Foto: Republika/Sapto Andika Candra
Presiden Jokowi mengundang tokoh nasional untuk membahas kondisi kebangsaan di Istana Merdeka, Kamis (26/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai tidak ada tolok ukur yang secara rinci menegaskan definisi 'kegentingan negara' agar Presiden bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Penggantu Undang-Undang (Perppu).

Penerbitan Perppu memang menjadi salah satu opsi yang digaungkan sebagai koreksi atas revisi UU KPK yang sudah disahkan pemerintah bersama DPR.

Baca Juga

Bagi Mahfud, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki hak subjektif untuk memiliki parameter 'kegentingan'-nya sendiri. Bila Jokowi melihat situasi saat ini sudah cukup genting untuk menerbitkan Perppu KPK, maka hal tersebut sah-sah saja dilakukan secara hukum.

"Tidak dikaji itu. Bisa juga hak subjektif presiden. Menurut hukum tata negara tidak bisa diukur apa genting itu. Presiden mengatakan, 'Ooh keadaan masyarakat dan negara begini, saya harus ambil tindakan,' itu bisa," jelas Mahfud saat mendampingi Jokowi menyampaikan keterangan pers di Istana Merdeka, Kamis (26/9).

Mahfud menilai, penerbitan Perppu saat ini sebagai koreksi atas revisi UU KPK tidak akan mendapat penolakan secara luas. Dalam pertemuan tertutup antara para tokoh bangsa dengan Jokowi siang tadi, memang dibahas mengenai penolakan masyarakat terhadap pengesahan revisi UU KPK.

photo
Massa aksi pelajar STM saat terlibat bentrok dengan polisi ketika melakukan aksi unjuk rasa tolak UU KPK hasil revisi dan RKUHP di Jalan Layang Slipi, Petamburan Jakarta, Rabu (25/9/2019).

Mahfud menceritakan, ada tiga opsi yang bisa dilakukan untuk menanggapi penolakan terhadap revisi UU KPK tersebut. Pertama, legislative review. Opsi ini memberi ruang pembahasan atas UU KPK yang sudah disahkan oleh anggota DPR periode selanjutnya, 2019-2024.

"Artinya nanti disahkan kemudian dibahas pada periode berikutnya kan biasa terjadi revisi undang-undang yang sudah disahkan," katanya.

Opsi kedua, judicial review melalui MK. Opsi ini menjadi yang cukup sering disampaikan pemerintah kepada masyarakat yang menolak revisi UU KPK. Masyarakat dipersilakan mengajukan uji materi ke MK untuk menolak revisi UU KPK yang telah disahkan.  

"Lalu ada opsi lain yang tadi cukup kuat disuarakan, yaitu lebih bagus mengeluarkan Perppu agar itu ditunda dulu sampai ada suasana yang baik untuk membicarakan isinya, substansinya dan karena ini kewenangan presiden," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement