Rabu 25 Sep 2019 14:52 WIB

KSPI Nilai Revisi UU KPK akan Turunkan Kepercayaan Investor

KSPI menegaskan buruh menolak revisi terhadap UU KPK.

Rep: Rizky Suryarandika, Ali Mansur, Dessy Suciati Saputri/ Red: Andri Saubani
Petugas PPSU membersihkan sampah pascaaksi unjuk rasa mahasiswa menolak Undang-Undang KPK hasil revisi dan rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di kawasan Lapangan Tembak, Senayan, Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Foto: Antara/Oscar Motuloh
Petugas PPSU membersihkan sampah pascaaksi unjuk rasa mahasiswa menolak Undang-Undang KPK hasil revisi dan rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di kawasan Lapangan Tembak, Senayan, Jakarta, Rabu (25/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak revisi Undang-Undang Tindak Pemberantasan Korupsi (KPK). KSPI menganggap revisi UU KPK malah menurunkan investasi yang implikasinya berdampak pada kesejahteraan buruh.

"Kaum buruh menolak revisi UU KPK. Karena revisi ini dinilai akan melemahkan KPK. Sementara itu, pelemahan KPK akan berdampak pada menurunnya kepercayaan investor terhadap Indonesia," kata Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar S Cahyono di Jakarta, Rabu (25/9).

Baca Juga

Ia menyebut indikasi pelemahan KPK terlihat, misalnya dalam hal penyadapan dipersulit dan dibatasi. Kemudian juga ada pembentukan dewan pengawas yang dipilih oleh DPR dan penghapusan beberapa kewenangan strategis.

"Kami menilai revisi ini akan melemahkan KPK. Kalau KPK lemah, dampaknya investor asing tidak akan percaya menanamkan investasi di Indonesia. Mereka bisa saja khawatir terkait ekonomi berbiaya tinggi akibat adanya korupsi, misalnya dalam hal mengurus perizinan," ujar Kahar.

Menurutnya, hal ini kotraproduktif dengan usaha pemerintah untuk menarik investasi. Hal lain, jika KPK lemah, buruh juga rentan mendapatkan ketidakadilan. Terutama ketika buruh berselisih di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Seperti yang pernah terjadi pada Hakim Imas dari PHI Bandung yang terlibat suap saat mengadili perkara buruh.

"Para hakim di Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengawas Ketenagakerjaan bisa saja terlibat kongkalikong dengan penguasa jika pengawasan dari KPK lemah," ucap pria yang juga menjabat sebagai Wakil Presiden DPP FSPMI ini.

Oleh karena, kata Kahar, kaum buruh menolak revisi UU KPK. Selain itu, buruh juga menolak terhadap rencana pemerintah yang ingin merevisi UU Ketenagakerjaan. Buruh menilai, revisi terhadap beleid ini akan menurunkan tingkat kesejahteraan buruh Indonesia.

Untuk menyuarakan penolakannya, buruh akan melakukan aksi pada tanggal 2 Oktober 2019 serentak di 10 provinsi. Khusus di Jabodetabek, aksi akan dipusatkan di DPR RI. Ia membantah adanya aksi buruh yang dilakukan selain pada tanggal tersebut.

"Ada tiga tuntutan dalam aksi tersebut. Tolak revisi UU Ketenagakerjaan, tolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, dan tagih janji revisi PP 78/2015," tegasnya.

Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko sebelumnya menjelaskan salah satu pertimbangan Presiden setuju merevisi UU KPK adalah keberadaan lembaga antirasuah itu bisa menghambat upaya investasi.  "Ada alasan lagi berikutnya bahwa lembaga KPK itu bisa menghambat upaya investasi," ucap dia.

Menurut Moeldoko, revisi UU KPK tak melemahkan lembaga anti korupsi. Selain itu, kata dia, pengawasan terhadap lembaga KPK pun dinilainya merupakan hal yang wajar. Begitu pula terkait poin pengadaan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam revisi UU KPK.

Mantan Panglima TNI itupun kemudian mencontohkan kasus yang menjerat RJ Lino, mantan Dirut PT Pelindo II yang ditetapkan sebagai tersangka kasus pengadaan tiga unit QCC sejak 2015. "Berikutnya SP3, ada case-case yang menunjukkan bahwa dengan tiadanya SP3 berapa orang jadi korban? Lu mau jadi korban? Buktinya RJ Lino empat tahun digantung. Kenapa kok digantung? Kan begitu. Siapa orang mau digantung seperti itu?," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement