REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah proses demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah yang rata-rata melakukan penolakan terhadap pengesahan sejumlah Rancangan Undang Undang (RUU) oleh DPR, terdapat satu RUU yang justru samar-samar mendapatkan dukungan untuk disahkan. RUU tersebut adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Menanggapi poin ini, Aliansi Indonesia Cinta Keluarga (AILA) Indonesia sebagai organisasi yang sejak awal telah melakukan pengkajian kritis terhadap RUU PKS merasa perlu menyatakan kembali sikap dan pandangannya, yaitu menolak pengesahan RUU tersebut.
"Menolak desakan untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) karena merupakan desakan yang irasional dan tidak beralasan secara filosofis, normatif dan sosiologis," tutur Ketua Umum AILA, Rita Soebagio, dalam siaran persnya, Rabu (25/9).
Menurut AILA, tuntutan terhadap RUU PKS bukanlah tuntutan mayoritas mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi di berbagai daerah. "Tuntutan pengesahan RUU PKS telah disusupkan oleh kelompok berpaham kebebasan seksual yang ingin mendompleng aksi mahasiswa terkait isu korupsi serta agenda reformasi lainnya," kata Rita melanjutkan.
AILA menilai, kampanye kebebasan seksual yang diusung oleh para pendukung RUU PKS dan para penolak pasal zina dan LGBT dalam RKUHP telah mengotori gerakan mahasiswa dan masyarakat yang selama ini telah tulus berjuang demi mewujudkan bangsa Indonesia yang bermoral dan beradab.
Permintaan revisi secara substantif terhadap RUU PKS bukan datang dari segelintir organisasi. "Namun menjadi pendapat banyak pakar hukum, akademisi, tokoh masyarakat dan pihak-pihak lainnya yang otoritatif," katanya.
Revisi secara substantif terhadap RUU PKS juga menjadi semangat sebagian besar anggota Panja RUU PKS ketika mengatakan bahwa RUU PKS lebih tepat diubah menjadi RUU Kejahatan Seksual dan diperbaiki substansinya agar tidak mengakomodasi perilaku seksual menyimpang seperti zina dan LGBT.
Dalam kesempatan ini, AILA mengajak mahasiswa untuk terus bergerak menolak dan mengkritisi RUU PKS serta RUU bermasalah lainnya, dengan tetap mengedepankan nilai-nilai moral dan agama, tanpa kehilangan daya kritisnya dalam menyikapi proses legislasi yang sedang berjalan.
"Pastikan tidak terjadi lagi pengesahan berbagai RUU yang tidak melalui proses pengkajian secara mendalam, cacat secara formil maupun materil, dan tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat," kata Rita.
Kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah, AILA sangat berharap agar mereka dapat menerima aspirasi dan masukan dari berbagai pihak terkait produk perundangan yang ada. "Masukan dari berbagai elemen di tengah masyrakat sangat diperlukan untuk memastikan RUU tersebut selaras dengan nilai-nilai Pancasila yang berketuhanan dan berkemanusiaan yang adil dan beradab, serta tidak mengusik rasa keadilan di masyarakat," tutupnya.