REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Universitas Islam Bandung (Unisba) kembali menjadi tempat evakuasi mahasiswa korban bentrokan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Selasa (24/9). Berdasarkan data yang terpampang di papan pengumuman, terdapat 107 mahasiswa yang terluka dan mendapatkan perawatan di Aula Unisba.
Dari jumlah tersebut, enam di antaranya telah dirujuk ke rumah sakit. Mereka yang terluka mendapatkan pertolongan medis dari tim Korps Sukarela (KSR) Unisba, PMI, dan Dinas Kesehatan Provinsi.
Menurut Wakil Rektor III Unisba, Asep Ramdan Hidayat, pihaknya tidak mempunyai persiapan khusus dalam mengantisipasi adanya korban yang berjatuhan akibat aksi unjuk rasa tersebut. Namun, sebagai kampus yang berjarak paling dekat dengan lokasi kejadian, Unisba merasa memiliki tanggung jawab untuk menampung mahasiswa dari berbagai kampus yang membutuhkan perawatan.
“Kami memiliki prinsip siapapun yang berada dalam keadaan terluka harus dirawat dan dilayani," ujar Asep kepada wartawan, Rabu (25/9).
Asep menegaskan bahwa Unisba tidak sengaja membuka posko kesehatan bagi demonstran. Ia menduga, mahasiswa yang berdemonstrasi sepertinya mengenali Unisba sebagai kampus terdekat dari lokasi unjuk rasa sehingga mereka yang cedera dievakuasi ke sana, tanpa memandang identitas kemahasiswaannya.
"Meski begitu, prinsip kami mereka yang datang adalah tamu yang harus dilayani,” katanya.
Asep mengatakan, Unisba tidak pernah memberikan arahan atau berkordinasi langsung dengan PMI maupun Dinkes. Asep menilai, kondisi lapangan yang tidak kondusif menjadi alasan bagi mereka untuk menjadikan Unisba sebagai tempat evakuasi. Namun, ia menyatakan bahwa kehadiran tim rescue dari luar Unisba sangat membantu proses penanganan korban yang berjumlah cukup banyak.
“Kami memberikan pertolongan secara dadakan sehingga tidak ada anggaran khusus yang dipersiapkan. Selain itu, kami tidak mempunyai stok oksigen cukup untuk korban yang terhitung banyak sehingga kehadiran tim medis dari luar sangat membantu,” paparnya.
Jumlah korban pada hari kedua, menurut Asep, didominasi oleh mahasiswa dari luar Unisba. Hal tersebut terjadi karena mayoritas mahasiswa Unisba yang pada hari sebelumnya mengikuti unjuk rasa di Gedung DPRD Jabar, bertolak ke Jakarta untuk bergabung bersama Aliansi Mahasiswa Indonesia melakukan aksi kembali.
Namun, Asep tidak berkeberatan bila Unisba dijadikan tempat evakulasi selama mahasiswa dapat menjaga ketertiban di lingkungan kampus.
“Insya Allah niat kami lurus membantu teman-teman, tidak melihat mahasiswa Unisba saja. Semua mahasiswa adalah anak-anak kami yang harus diselamatkan dan dibantu," katanya.
Unisba, menurut dia, terbuka untuk penanganan dengan catatan tidak ada gerakan atau orasi di kampus, apalagi di jam malam. Hal itu dilakukan demi menjaga kebebasan mimbar bagi mahasiswa Unisba.
Asep mengatakan, Unisba tidak berusaha untuk mendorong atau melarang mahasiswa mengikuti unjuk rasa. Menurutnya, idealisme mahasiswa sebagai kelompok intelektual harus diselamatkan sehingga tidak ada salahnya jika kampus memberikan ruang bagi mahasiswa untuk mengemukakan pendapat di muka umum.
“Saya percaya dari sekian ribu pendemo akan ada yang menjadi pemimpin pada 10 atau 15 tahun mendatang karena tidak mungkin pemimpin tidak peka terhadap lingkungan sosialnya," katanya.
Asep mengatakan, kampus melihat gerakan yang dilakukan mahasiswa saat ini adalah gerakan yang tulus. Mereka bergerak berdasarkan analisis keilmuannya sehingga muncul keinginan untuk memberikan koreksi terhadap kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang mereka pelajari di ruang kelas.