Selasa 24 Sep 2019 15:00 WIB

DPR Tunda Pengesahan Empat RUU yang Diminta Presiden

DPR dan pemerintah akan mengkaji kembali pasal per pasal RKUHP.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo (keempat kiri) didampingi sejumlah menteri, beraudiensi bersama pimpinan DPR dan fraksi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (23/9/2019).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo (keempat kiri) didampingi sejumlah menteri, beraudiensi bersama pimpinan DPR dan fraksi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (23/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR melalui forum Badan Musyawarah (Bamus) kemarin Senin (23/9) dan forum lobi hari ini Selasa (24/9) telah sepakat untuk menunda RUU KUHP dan RUU Permasyarakatan. Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan, penundaan itu dilakukan untuk memberikan waktu, baik kepada DPR maupun pemerintah untuk mengkaji dan mensosialisasikan isi dari kedua RUU tersebut.

"Karena ditunda, maka DPR RI bersama pemerintah akan mengkaji kembali pasal per pasal yang terdapat dalam RUU KUHP, khususnya yang menjadi sorotan publik. Sambil juga kita akan gencarkan kembali sosialisasi tentang RUU KUHP. Sehingga masyarakat bisa mendapatkan penjelasan yang utuh, tak salah tafsir apalagi salah paham menuduh DPR RI dan pemerintah ingin mengebiri hak-hak rakyat," ujar Bamsoet dalam keterangan tertulisnya (24/9).

Baca Juga

Sedangkan dua RUU lainnya, yakni RUU Pertanahan dan RUU Minerba masih dalam pembahasan ditingkat I dan belum masuk dalam tahap pengambilan keputusan. Bamsoet menjelaskan, penyusunan RUU KUHP sudah melibatkan berbagai profesor hukum dari berbagai universitas, praktisi hukum, maupun lembaga swadaya dan organisasi kemasyarakatan. Sehingga, keberadaan pasal per pasalnya yang dirumuskan bisa menjawab berbagai permasalahan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Ia menambahkan, pembahasan RUU KUHP yang dimulai sejak tahun 1963 sudah melewati masa 7 kepemimpinan Presiden dengan 19 Menteri Hukum dan HAM. Menurutnya, berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat lantaran karena sosialisasi yang belum massif.

"Walaupun pada kenyataannya selama ini DPR RI melalui Komisi III telah membuka pintu selebarnya dalam menampung aspirasi. Para anggota DPR RI juga membawa aspirasi dari konstituennya. Memang tidak semua aspirasi bisa diterima, karena itu kita libatkan berbagai profesor hukum dengan berbagai kepakaran untuk meramu formulasi terbaik," tutur Bamsoet.

Meskipun, RUU KUHP ini ditunda oleh DPR dan Pemerintah, politikus Partai Golkar tersebut berharap RUU KUHP ini tetap menjadi catatan sejarah dalam perjalanan bangsa ini.  "Sebab seluruh sumber daya dan pemikiran telah tercurah dari para profesor, ahli, dan praktisi hukum seperti Prof. Muladi, maupun yang sudah wafat seperti (alm) Prof Soedarto, (alm) Prof. Roeslan Saleh dan (alm) Prof Satochid Kartanegara untuk menuntaskan RUU KUHP ini," ujarnya.

Bamsoet menuturkan, RUU KUHP sebenarnya akan menjadi momentum terlepasnya Indonesia dan penjajahan hukum peninggalan kolonial selama kurang lebih 101 tahun. Bukan hanya berdikari, namun terkait martabat bangsa yang bisa melahirkan RUU KUHP yang terdiri dari 626 pasal yang merupakan hasil karya anak bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement