Selasa 24 Sep 2019 14:20 WIB

Jokowi Diminta Buka Dialog dengan Gerakan Papua Merdeka

Dialog antara Presiden dan pimpinan OPM dinilai bisa redakan situasi.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo menyampaikan tanggapan tentang situasi Wamena di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (23/9/2019).
Foto: Antara/Bayu Pratama S
Presiden Joko Widodo menyampaikan tanggapan tentang situasi Wamena di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (23/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta membuka ruang dialog dengan pimpinan Gerakan Papua Merdeka atau United Liberation Movement of West Papuan (ULMWP) serta Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Dua organisasi tersebut dianggap punya andil dalam insiden kerusuhan di Papua dan Papua Barat dalam beberapa pekan terakhir.

Ketua DPRD Kabupaten Maybrat, Papua Barat, Ferdinando Solossa, menyampaikan, bahwa dialog antara pemerintah pusat dan pimpinan organisasi yang berseberangan ini mampu meredam konflik yang ada. Ferdinando berkaca pada proses dialog antara pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditengahi oleh Finlandia. Saat itu, dialog bisa berjalan ditengahi oleh satu pihak independen yang dipercaya kedua belah pihak.

Baca Juga

"Ada kelompok independen yang memfasilitasi sehingga tidak ada kecurigaan di antara kita. Sehingga hasil yang dicapai dari dialog itu adalah benar-benar secara  konprehensif dan merespon apa yang menjadi harapan semua pihak," jelas Ferdinando usai bertemu dengan Kepala Staf Presiden Moeldoko, Selasa (24/9).

Ferdinando menilai, bahwa dialog harus dilakukan secara bertahap, tanpa mengandalkan pendekatan militer. Artinya, ujar dia, pihak yang berseberangan dengan pemerintah Indonesia bisa menyampaikan poin apa saja yang menjadi harapan mereka. Apalagi, ia merasa bahwa otonomi khusus yang dijalankan di Papua dan Papua Barat tidak optimal.

"Ini persoalan yang akan disampiakan dalam forum dialog itu. Kita minta pihak netral yang akan menjadi mediator sehingga kita berharpa bisa diselesaikan sehingga kita tetap berada dalam bingkai NKRI," jelasnya.

Ferdinando sendiri mengapresiasi langkah pemerintah yang sebelumnya memanggil tokoh-tokoh Papua dan Papua Barat ke istana beberapa waktu lalu. Namun, ia meminta Presiden Jokowi untuk mengedepankan koordinasi dengan perpanjangan tangan pemerintah di Papua dan Papua Barat, dalam hal ini pemda. Dari pemda, ujarnya, koordinasi bisa dilanjutkan kepada DPRD setempat sehingga kebijakan pusat bisa satu napas dengan apa yang terjadi di daerah.

"Pada prinsipnya kami tidak menolak apa yang disampaikan itu tetapi minimal melakukan koordinasi melakukan pertemuan secara komprehensif dengan pemda," kata Ferdinando.

Sebelumnya, Forum Pimpinan DPRD dan ADKASI se-Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) menitipkan surat yang ditujukan kepada Presiden Jokowi melalui Kantor Staf Presiden. Ada delapan poin yang disampaikan, termasuk permintaan dialog antara pemerintah pusat dan tokoh-tokoh papua, khususnya tokoh-tokoh yang dipandang memiliki ideologi yang konfrontatif atau bersebrangan seperti ULMWP dan KNPB dan mendesak pemerintah pusat untuk segera melakukan revisi terhadap UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.

Poin ketiga, pemerintah diminta menarik pasukan nonorganik TNI dan Polri di Papua dan Papua Barat dan keempat, mendorong pembentukan pemekaran daerah otonomi baru khusus bagi Papua dan Papua Barat. Kemudian kelima, meminta kepada presidei melalui mendagri dan kapolri memfasilitasi pertemuan dengan beberapa kepala daerah yang wilayahnya menjadi pusat pendidikan pelajar mahasiswa Papua dan Papua Barat untuk mendapatkan jaminan keamanan.

Keenam, forum meminta Presiden Jokowi mendorong terbentuknya komisi kebenaran, keadilan, dan rekonsiliasi (KKKR) guna menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua. Ketujuh, Mendagri diminta memfasilitasi pertemuan gubernur, bupati/wali kota, MRP/MRPB, DPR daerah pemilihan Papua dan Papua Barat, pimpinan DPRD provinsi, pimpinan DPRD kabupaten/kota se-provinsi Papua dan Papua Barat dengan Presiden untuk menyampaikan permasalahan yang terjadi di Tanah Papua. Terakhir, pemerintah diminta menegakkan hukum secara transparan, terbuka, jujur, dan adil terhadap pelaku rasisme di Surabaya, Malang, dan Makassar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement