REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan sikap pemerintah terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tetap meminta penundaan pengesahan UU tersebut. Sikap ini berbeda dengan DPR RI yang tetap berupaya mengesahkan RKUHP pada periode ini.
Dia berharap agar DPR RI menunda pengesahan RUU KUHP tersebut hingga pada DPR RI periode 2019-2024. "Kita tunggu dari paripurna besok seperti apa. Nanti akan ada opsi yang berkembang di paripurna. Sikap pemerintah tidak berubah, sangat jelas," kata Moeldoko ditemui di komplek Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin (23/9).
Mengenai pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan sejumlah pimpinan DPR RI pada Senin siang, Moeldoko menyampaikan pemerintah bersama DPR RI saling mendengarkan pandangan-pandangan terkait RUU KUHP. Dalam pertemuan itu, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menjelaskan DPR telah membahas RUU KUHP dalam proses yang panjang dan lama.
Dia menjelaskan mekanisme hukum dapat memperbaiki KUHP jika ditemukan kelemahan di dalamnya melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, Ketua Panja RUU KUHP Mulfachri Harahap mengatakan masih ada tiga kali rapat paripurna di DPR hingga tanggal 30 September 2019. Selain itu terdapat juga forum lobi antara pemerintah dengan DPR RI.
"Kalau pun dianggap ada pasal-pasal yang bermasalah, tentu tidak banyak. Soal pasal-pasal bermasalah itu debatable. Kita tahu bahwa RUU KUHP sudah dibahas hampir 4 tahun, kita mendengar banyak pihak. Kalau satu, dua pasal dianggap masih kurang selaras dengan kehidupan berbangsa ini, ya kita sesuaikan," demikian Mulfachri.
Ketua DPR Bambang Soesatyo (kelima kiri) bersama pimpinan DPR dan fraksi beraudiensi dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (23/9/2019). (ANTARA)
Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengungkapkan DPR masih optimistis RUU KUHP bisa disahkan paad sisa akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019. Ia menuturkan DPR sedang berupaya melakukan sosialisasi terhadap pasal-pasal yang dianggap masih menimbulkan perdebatan di tengah publik.
"Saya tetap dalam posisi yang optimis bahwa ini bisa tuntas. Tapi kan sangat bergantung pada dinamika di lapangan," kata Bamsoet di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (23/9).
Hal senada juga disepakati fraksi. Menurutnya, seluruh fraksi sepakat mengambil jalan tengah bahwa perlu ada pendalaman dan sosialisasi.
Namun soal apakah waktu yang tersisa cukup atau tidak, ia mengatakan, sangat tergantung perkembangan. Sebab, DPR periode ini menyisakan tiga kali rapat paripurna.
"Kita ada jadwal 24, 26, dan 30 (September). Mari kita duduk bersama-sama, kalau nggak cukup waktu, nanti kita putuskan di ujung bahwa ini dilanjutkan dengan yang periode berikutnya. Tapi kita upayakan agar periode berikutnya bisa selesai sambil sosialisasi," kata dia.
Selain itu, imbuh Bamsoet, ada beberapa pasal yang perlu dijelaskan kepada publik agar tidak ada kesalahpahaman. Salah satunya pasal penghinaan presiden.
"Presiden sebenarnya dia nggak ada masalah. Presiden nggak keberatan pasal itu dihilangkan karena menurut beliau dia sudah lama juga diuwek-uwek. Intinya pasal-pasal itu akan kita perdalam lagi," ujarnya.
Sebelumnya pada Jumat (20/9), Presiden Jokowi meminta DPR RI untuk menunda pengesahan RUU KUHP guna mendalami kembali sejumlah materi pasal dalam peraturan tersebut. Presiden menilai terdapat 14 pasal yang harus ditinjau ulang. Jokowi berharap pengesahan RUU KUHP itu dilakukan oleh DPR pada periode 2019-2024 dan meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menambah masukan dan mengumpulkan usulan dari masyarakat.