Sabtu 21 Sep 2019 16:48 WIB

Pasal Penghinaan Presiden Tetap Diperlukan

Jangan sampai Presiden Republik Indonesia jatuh martabatnya karena dihina.

Rep: Ali Mansur/ Red: Andi Nur Aminah
Ilustrasi Penghinaan Presiden
Foto: Republika On Line/Mardiah diah
Ilustrasi Penghinaan Presiden

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Slamet Pribadi mengaku banyak yang menolak pasal penghinaan terhadap Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Namun ia menilai menilai Presiden harus dilindungi harkat dan martabatnya sehingga pasal tersebut diperlukan dalam RKUHP.

"Pendapat saya memang harus ada perlindungan terhadap Presiden. Yaitu jika seseorang sudah menyerang pribadi Presiden. Jangan sampai Presiden Republik Indonesia jatuh martabatnya karena dihina," tegas Slamet Pribadi, dalam diskusi bertajuk "Mengapa RUU KUHP Ditunda?" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9).

Baca Juga

Kendati demikian, Slamet Pribadi juga menegaskan, nantinya harus dibedakan antara mengkritik dan menghina Presiden. Sehingga ketika seseorang melayangkan kritik terhadap Presiden tidak perlu dipidana. Karena siapapun diperbolehkan mengkritik, mengajukan usulan dan marah pada kebijakan Presiden, tapi tidak boleh menghina Presiden.

"Jadi harus bisa dibedakan mana itu penghinaan atau memberi kritikan  kepada presiden. Siapapun rakyat Indonesia boleh mengkritik presiden tapi tidak untuk menghina," tuturnya.

Sementara itu, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan seharusnya Presiden sejak awal bekerja atau memberi perhatian terhadap RKUHP. Termasuk perhatian terhadap pasal-pasal dianggap kontroversial atau pasal Karet. Sebagai contoh pasal penghinaan presiden termasuk di dalamnya.

Sebab merupakan hal yang wajar jika Presiden menjadi tokoh paling dikritik dan dipuji. Karena pemegang urusan publik terbanyak ada di pundak Presiden. "Jangan sampai pasal ini membatasi hak menyatakan pendapat," tegas Mardani.

Dia mengatakan, jika Presiden Joko Widodo baru berbicara sekarang maka sangat disayangkan. Karena energi para anggota yang terlibat dalam perancangan akan terbuang sia-sia. Sementara kalau karena tekanan publik RUU KPK beda nasib. Karena memang pemimpin akan sendirian di puncak. "Jadi jangan bergantung pada orang lain. Apalagi tekanan publik," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement