REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencabutan syarat remisi mendorong perlu adanya sistem pemberian remisi yang akuntabel dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Dengan demikian, pemberian remisi tidak hanya berdasarkan pada penilaian Lapas dan putusan pengadilan.
"Sistem akuntabilitas perlu dalam artian berkelakuan baik, patokannya apa, indikatornya apa, itu harus dibuat," ujar Kepala Divisi Legal Policy Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Andreas Marbun saat dihubungi wartawan, Kamis (19/8).
Marbun menilai, mekanisme akuntabilitas Lapas lebih dibutuhkan daripada melarang narapidana tindak pidana khusus mendapat remisi. "Jadi lebih baik membuat mekanisme check and balance itu, indikatornya kita buat seperti apa, jangan asal, bahkan ada yang dibayar, kacaulah kita," ujar Marbun.
Selama ini pada praktiknya, Marbun mengungkap, narapidana tindak pidana khusus seperti narkoba, terorisme, dan korupsi pun akhirnya mendapatkan remisi. Namun, ia menilai selama ini tidak ada indikator jelas dalam pemberian remisi kepada narapidana.
"Selama ini hanya berkelakuan baik saja di Lapas, cuma memang indikatornya apa kita nggak ngerti, apa maksud berkelakuan baik misalnya, jadi memang perlu sistem akuntabilitas pemberian remisi," kata dia.
Peneliti hukum di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti juga menyampaikan perlunya sistem akuntabilitas pemberian remisi di Lapas. Ia berharap pemberian remisi dari Lapas melalui profiling kepada para narapidana.
Ia juga berharap, sistem mengatur tanggungjawab kepala Lapas dalam pemberian remisi kepada setiap narapidana. "Saya kira baiknya ke depannya pemberian remisi tidak semudah selama ini, dan harus ada sistem akuntabilitasnya, bisa mempertanggungjawabkan, karena seringnya ada yang diperjualbelikan," kata Bivitri.
"Jadi harusnya sistem ada yang membuat kepala lapas itu mempertanggungjawabkan pemberian remisi itu dan harus ada profiling dulu, nggak cuma asal kasih remisi," ujar Bivitri.
DPR dan Pemerintah bersepakat meniadakan aturan pemberian syarat remisi bagi pelaku kejahatan luar biasa seperti terorisme, korupsi, dan kejahatan HAM berat dalam revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Revisi UU Pemasyarakatan menghapus rekomendasi lembaga hukum sebagai syarat remisi, dan sebagai gantinya hanya berdasarkan penilaian Lapas dan putusan pengadilan saat vonis.