Kamis 19 Sep 2019 18:33 WIB

KPK Sesalkan Pemberian Kemudahan Remisi Koruptor

Koruptor adalah pelaku kejahatan luar biasa.

Rep: Dian Fath Risalah / Fauziah Mursid/ Red: Muhammad Hafil
Koruptor (ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Koruptor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menyesalkan keputusan DPR  terkait kemudahan memberikan remisi dalam revisi Undang-Undang Pemasyarakatan (UU PAS). Dalam revisi UU PAS diatur adanya syarat pemberian remisi atau pemotongan masa hukuman bagi pelaku kejahatan luar biasa seperti terorisme, korupsi, kejahatan hak asasi manusia berat.

“Saya menyayangkan, karena selama ini kan kita menganggap korupsi itu adalah serious crime dan extraordinary crime. Tapi kalau memperlakukan koruptor sama dengan pencuri sendal, ya enggak cocok,” ujar Syarif di Gedung KPK Jakarta, Kamis (19/9).

Baca Juga

Syarif menilai keputusan DPR memberi remisi dan pembebasan bersyarat melengkapi peristiwa luar biasa yang terjadi sejak dua pekan terakhir terkait pemberantasan korupsi. Dimulai dengan UU KPK, RKUHP dan diakhiri dengan RUU PAS. Menurutnya rentetan tersebut seperti hal yang sudah dibuat secara sistematis.

“Jadi memang masyarakat dan Tuhan bisa menilai. Sistematis ya,”ucapnya.

Namun, lanjut Syarif, KPK  hanya dapat menjalankan amanat pemerintah. Karena, meskipun banyak protes pun DPR dan Pemerintah seperti menutup kupingnya.

"Saya enggak tahu apakah masyarakat menghendaki hal yang sama atau tidak. Oleh karena itu, masyarakat bisa menanyakan ke Pemerintah, Presiden dan DPR,” katanya.

Lebih lanjut Syarif menambahkan, ia sangat menyesalkan telah disahkannya RUU KPK, meski banyak kalangan yang memprotes. Menurutnya, UU KPK yang baru tidak sesuai dengan janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengklaim ingin memperkuat KPK.

"Apa yang kami khawatirkan akhirnya menjadi kenyataan karena betul-betul UU yang ada sekarang itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan Presiden dalam konferensi pers yang disampaikan beliau, bersama Mensetneg dan KSP," kata Syarif.

"Beliau (Jokowi) mengatakan bahwa (KPK) akan diperkuat tetapi kenyataannya Komisioner KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sekarang. Jadi kewenangan komisioner seperti saya, saya tidak bisa lagi memerintahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.  (Kewenangan) Ini hilang," kata Syarif. 

Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, menilai bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sulit memberikan pembebasan bersyarat kepada terpidana korupsi. Meskipun, orang tersebut telah menjalani kewajibannya.

"Ini kan tidak boleh terjadi, padahal si terpidana ini sudah sama-sama memenuhi kewajibannya. Ini yang kita tidak mau," ujar Arsul di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/9).

Oleh sebab itu, diperlukan revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Hal itu dilakukan agar tak menimbulkan diskriminasi antara terpidana kasus luar biasa lainnya.

"Seorang warga binaan permasyarakatan, kan hak-haknya tidak boleh terdiskriminasi antara napi satu dengan napi lain," ujar Arsul.

DPR dan pemerintah akan segera mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Kedua pihak menyepakati merevisi aturan soal pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa. Salah satunya adalah korupsi.

Dalam rancangan UU Pemasyarakatan, DPR dan pemerintah sepakat meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Arsul menjelaskan, PP Nomor 99 Tahun 2012 ini mengatur syarat rekomendasi dari aparat penegak hukum, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi. Selama ini PP tersebut dianggap memberatkan pemberian pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi.

Mengacu pada sistem peradilan pidana terpadu, putusan hakim menjadi pertimbangan remisi atau pembebasan bersyarat. Sehingga aparat penegak hukum tidak dapat mencampuri kewenangan pengadilan.

Artinya, kewenangan memberikan hak pembebasan bersyarat bagi terpidana berada di tangan hakim. Serta, Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM.

"Jadi di dalam UU Pemasyarakatan itu dikatakan bahwa narapidana itu berhak mendapatkan hak-haknya kecuali haknya itu dicabut oleh hakim melalui putusan pengadilan," ujar Arsul.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement