Kamis 19 Sep 2019 02:13 WIB

Walhi Tuntut Transparansi Lokasi Kebakaran di Lahan Konsensi

Selama ini pemerintah dinilai hanya mengumumkan jumlah luas lahan yang terbakar.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Helikopter BNPB menyiramkan air pada lahan yang terbakar di Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Riau, Selasa (17/9).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Helikopter BNPB menyiramkan air pada lahan yang terbakar di Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Riau, Selasa (17/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai pemerintah tak transparan terkait persoalan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Salah satunya terkait informasi lokasi-lokasi terjadinya kebakaran di lahan konsensi.

"Tidak pernah disampaikan bahwa dari sekian angka hotspot titik api dan titik kebarakan tidak pernah di-update ini di konsensi siapa," ujar Direktur Eksekutif Walhi Riau, Fandi Rahman di Kantor Walhi Eksekutif Nasional, Jakarta Selatan, Rabu (18/9).

Baca Juga

Menurut dia, masyarakat ingin tahu dan berharap adanya transparansi informasi terkait hal itu. Sementara, jika masyarakat menyampaikan dugaan lahan yang terbakar berada di suatu perusahaan, maka pemerintah membantah karena tak ada data resmi.

Fandi mengatakan, selama ini pemerintah hanya mengumumkan jumlah luas lahan yang terbakar. Pemerintah juga mencatat jumlah titik panas atau hotspot di setiap daerah, tetapi tidak disampaikan lokasi kebakaran hutan di lahan konsensi yang digarap perusahaan.

"Apakah ini upaya untuk melindungi investasi yang tadi atau untuk menyampaikan bahwa sebenarnya ini baik-baik saja, dan welcome untuk usaha-usaha yang lain, itu dugaan," jelas dia.

Manajer Kajian Kebijakan Walhi Boy Sembiring menuntut pemerintah untuk mengungkap nama grup perusahaan yang menjadi penyebab utama karhutla di Indonesia. Sejauh ini pemerintah hanya mengumumkan inisial nama perusahaan tersebut

Padahal, kata dia, putusan Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya memerintahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengumumkannya kepada publik. Pemerintah harus mengumumkan kepada publik mengenai lahan yang terbakar dan perusahaan pemegang izinnya.

"Putusan pengadilan memerintahkan pemerintah membuka informasi konsesi mana yang terbakar, bukan inisial lagi," kata Boy.

Pada 2017, PN Palangkaraya memutuskan mengabulkan sebagian perkara perdata yang diajukan masyarakat atau citizen law suit atas permasalahan karhutla. Catatan amar putusan nomor 118/Pdt.G/LH/2016/PN Plk poin kesembilan berbunyi, menghukum TERGUGAT II dan TERGUGAT VI untuk satu, mengumumkan kepada publik lahan yang terbakar dan perusahaan pemegang izinnya.

Dua, mengembangkan sistem keterbukaan informasi kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Tiga, mengumumkan dana jaminan lingkungan hidup dan dana penanggulangan yang berasal perusahaa-perusahaan yang lahannya terbakar.

Empat, mengumumkan dana investasi pelestarian hutan dari perusahaa-perusahaan pemegang izin kehutanan. Amar putusan dapat diakses melalui situs resmi Mahkamah Agung dalam direktori putusan.

Namun, melihat sikap pemerintah saat ini, Walhi menilai pemerintah masih tidak transparan dalam memberi informasi terkait perusahaan, sehingga menimbulkan ketidakjelasan. Walhi juga menganggap pemerintah terlalu mudah memberi izin korporasi untuk mengekspolitasi lahan gambut.

Menteri Lingkuhan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pernah merespons pandangan yang muncul di ruang publik baik nasional maupun internasional, terkait dengan menguatnya intensitas hotspot di sejumlah daerah di Sumatra dan Kalimantan. Menurut dia, muncul juga berbagai hopthesis termasuk pandangan yang rasional dilontarkan di ruang publik, maupun tudingan bahwa kebakaran hutan di Sumatra karena okupasi ilegal, korupsi, dan rendahnya penegakan hukum.

Penegakan hukum, kata dia, merupakan bagian penting dalam bangunan konsep penanganan landcsape fire di Indonesia, tata kelola kawasan sebagai pencegahan, serta mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan, maupun bagi masyarakat untuk sejahtera. Selain penegakan hukum yang sudah berjalan selama lima tahun terakhir ini, menurut Nurbaya, hal penting lainnya adalah tata kelola termasuk oleh para pemegang izin penguasaan hutan.

"Ini merupakan aspek penting. Misalnya, pada izin restorasi ekosistem yang diberikan kepada WWF. Sebagai pemegang izin yang ternyata juga mengalami kebakaran berulang di wilayah konsesi izin tersebut," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement