Kamis 19 Sep 2019 05:03 WIB

Robot Pintar, Digitalisasi Sekolah, dan Imajinasi Asimov

Robot makin pintar dunia semakin terancam?

Seorang polisi dan sebuah robot berada di depan Masjid Islamic Center al-Noor di distrik Baerum, Norwegia pascaaksi penembakan pada Sabtu (10/8).
Foto: EPA/Terje Pedersen
Seorang polisi dan sebuah robot berada di depan Masjid Islamic Center al-Noor di distrik Baerum, Norwegia pascaaksi penembakan pada Sabtu (10/8).

Oleh: DR M Alfan Alfian. Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, dan Pengurus Pusat HIPIIS

Dua berita belakangan ini membuat saya teringat Isaac Asimov. Berita pertama, ketika CSIS menghadirkan Sophia, si robot cerdas yang bisa bercakap-cakap dengan manusia (16/9/19).

Berita kedua, ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meluncurkan program digitalisasi sekolah di Kabupaten Natuna, Propinsi Kepulauan Riau (18/9/19).

Robot cantik Sophia, digitalisasi sekolah, dan Imajinasi Isaac Asimov. Itulah tema esai saya kali ini.

                          ***

Isaac Asimov (1920-1992)penulis cerita-cerita fiksi ilmiah.Dia mendapat julukan “bapak kisah robot modern”. Karyanya bisa kita baca ulang di The Complete Robot (1982).Di situ ada 31 cerpen. Dengan panjang kalimat 200.000-an kata, ditulisnya cerita-cerita itu dari 1939 hingga 1977.

Nama Asimov melintas dan tertinggal di benak saya, awal 1990-an. Itu terjadi ketika saya, dalam semangat seorang remaja yang haus bacaan, tenggelam dalam suatu artikel di majalah pelajar terbitan Semarang, MOP.

Nama Asimov disandingkan dengan Alvin Toffler dalam artikel yang membahas futurologi itu. Asimov dan Toffler diangkat sebagai futurolognya.

Saya lebih terkesan Asimov ketimbang Toffler, ketika dia mengimajinasikan, tak lama lagi kita akan masuk ke model dan praktik pendidikan global yang saling terhubung. Dari imajinasi Asimov itu, sebagai pelajar ketika itu, saya membayangkan betapa praktisnya kelak ketika semua punya akses pendidikan yang sama asal terhubung komputer.

Barangkali itu yang kini populer sebagai pendidikan berbasis digital, digitalisasi sekolah.

                       ***

Dalam wawancaranya pada 1988 dengan Bill Moyers,Asimov menggambarkan pembelajaran berbasis komputer. Orang dapat menggunakan komputer untuk menemukan informasi tentang mata pelajaran yang mereka minati. Ini dipandangnya lebih menarik, karena orang memiliki kebebasan memilih apa yang harus dipelajari, selain dapat membantu menyebarkan pengetahuan di seluruh dunia. Siswa bisa belajar dengan langkah mereka sendiri.

Asimov juga membayangkan adanya kurikulum global yang dapat diakses siapapunsecara terhubung lewat komputer.Waktu itu kita belum punya bayangan, kalau benda yang bernama komputer bisa saling terkoneksi dengan siapapun, di manapun.

Yang jelas, apa yang dibayangkan Asimov, kejadian kini. Jagat digital telah benar-benar menjadi seperti atmosfer sebagai “udara yang menyelubungi bumi kita” (suatu definisi yang saya masih hapal sejak SMP).

 

                   ***

Dalam konteks itulah, rintisan dan pengembangan program digitalisasi sekolah, sangat relevan mau tak mau. Menteri Muhadjir telah melangkah secara benar, ketika dia mendorong proses pembelajaran berbasis digital, sebagai salah satu pilihan strategi yang akan diterapkan di semua sekolah di Indonesia pada masa akan datang.

Pada tahap awal, program digitalisasi sekolah difokuskan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) sesuai visi presiden. Program ini dimulai oleh Kemendikbud dengan memberikan lebih kurang 1,7 juta komputer tablet kepada 36.000 sekolah di seluruh Indonesia pada 2019.

                   ***

Kendati akhirnya berurusan dengan imajinasi, keduanya berangkat dari pendekatan berbeda. Pendekatan Toffler lebih ke buku populer. Asimov ke fiksi ilmiah.

Toffler diulas karena buku-buku mutakhirnya kala itu. Bergaya populer, buku-buku legendarisnya diulas: Future Shock (1970), The Third Wave (1980). Belakangan, dia menghadirkan Powershift (1990).

Buku-buku itu bukan ramalan. Bukan ulasan-ulasan bak Nostradamus atau Jayabaya. Nama Tofller sering diulas, disejajarkan dengan futurolog lainnya, John Naisbitt. Dia pengarang buku populer Megatrends: Ten New Directions Transforming Our Live(1980).

Terhadap Toffler dan Naisbitt, keduanya banyak diulas, didiskusikan. Tapi, akan halnya dengan Asimov, banyak orang tak menyadarinya, bahwa dia sepenting mereka.

Tak banyak orang tahu ketika menikmati film I, Robot (2004) yang dibintangi oleh Will Smith, diinspirasi dari karya fiksi Asimov. Dalam film kita, kita sebagai bangsa manusia diaduk-aduk oleh benda ciptaannya sendiri, para robot yang membelot menjadi jahat.

                      ***

Saya tak hendak mengulas film itu lebih jauh. Saya mengajak Anda masuk ke imajinasi Asimov. Ketika “berusia akhir remaja”sebagai penggemar fiksi ilmiah, Asimov menemukan dua jenis robot. Hal itu dikemukakannya dalam pengantar The Complete Robot.

Jenis atau kelas pertama, “robot-as-menace”, robot jahat yang mengancam, membahayakan. Jenis lainnya, “robot-as-pathos”, robot yang berperasaan. Jenis yang pertama tak lebih menyenangkan ketimbang yang kedua.

Asimov terkesan cerpen Eando Binder “I, Robot” tentang robot baik bernama Adam Link. Juga cerpen Lester del Rey, “Helen O’Loy”, tentang robot yang seharusnya menjadi “istri yang setia”.Maka, ketika pada 10 Juni 1939 Asimov menulis cerita robot pertama kalinya, keluarlah “Robbie”.

Cerpen itu tentang robot perawat, seorang gadis kecil, seorang ibu yang berprasangka dan seorang ayah yang lemah dan patah hati,serta reuni yang penuh air mata. Awalnya Asimov memberinya judul cerpennnya itu “Strange Playfellow”, teman bermain yang aneh.

              

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement