REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa Hijrah selama ini dipilih sebagai titik tolak penentuan kalender dalam Islam. Karena momentum ini merupakan sejarah yang mengawali lahirnya komunitas Madinah sebagai pondasi peradaban Islam yang dapat menguatkan ikatan Anshor (pribumi) dan Muhajirin (pendatang) serta dapat menjamin kebebasan masyarakat lintas agama dan suku.
Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hijrah ini dikontekstualisasikan untuk membangun persaudaraan kebangsaan, bukan meruntuhkan persaudaraan dengan menyemarakkan parade simbol identitas dan primordial yang dapat memecah belah persatuan bangsa.
Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Prof Dr Siti Musdah Mulia mengatakan bahwa masyarakat kita utamanya umat Muslim harus dapat menjadikan hijrah sebagai momentum untuk membangun peradaban dengan persaudaaan keislaman dan persaudaraan kebangsaan. Bukan malah memecah belah persatuan bangsa. Umat muslim pun harus memahami terlebih dahulu mengenai makna hijrah itu sendiri.
“Nabi Muhammad itu melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah itu dengan satu harapan ingin mengubah peradaban manusia, peradaban umat Islam. Jadi kalau ingin mengubah peradaban itu adalah dengan membangun sesuatu yang lebih baik, lebih positif, lebih produktif dan lebih konstruktif. Jadi bukan membangun untuk menghancurkan yang lain,” ujar Musdah beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut Musdah menjelaskan, Nabi Muhammad saat itu pindah ke Madinah bukan hanya membangun peradaban umat Islam saja, tetapi juga membangun peradaban semua umat manusia. Dimana di Madinah itu Nabi memperkenalkan hidup saling bertoleransi untuk bisa menerima yang lain. Karena di Madinah itu sendiri tidak seperti di Mekkah, yang mana di Mekkah sendiri cuma ada satu suku, tidak banyak agama.
“Nah di Madinah itu benar-benar terlihat banyak kelompok dan hiterogen, karena ada berbeda suku, berbeda agama yang mana disana ada agama Yahudi, ada Nasrani dan bahkan Paganisme serta agama lainnya. Tetapi Nabi Muhammad bisa merangkul kelompok agama yang berbeda itu. Karena Nabi menerapkan prinsip toleransi di dalam kepemimpinannya,” kata wanita yang juga Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) ini.