REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Antara
Badan Legislasi (Baleg) DPR, pada Senin (16/9) malam menggelar rapat pengambilan keputusan tingkat pertama terhadap perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Selanjutnya pembahasan akan dibawa ke rapat paripurna.
"Apakah Rancangan Undang-undang tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat kita setujui untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan Dewan Perwakilan Rakyat?" kata Ketua Baleg Supratman Andi Agtas menanyakan persetujuan peserta rapat yang diikuti kata setuju.
Untuk diketahui tujuh fraksi di DPR secara bulat mendukung keseluruhan poin revisi UU KPK. Dua fraksi yaitu PKS dan Gerindra juga sepakat dengan revisi UU KPK, hanya saja dengan catatan. Sedangkan, satu fraksi yaitu Partai Demokrat belum bersikap lantaran masih harus berkonsultasi terlebih dahulu.
Rapat tersebut digelar di Badan Legislasi sekitar pukul 21.45 WIB malam. Dari perwakilan pemerintah yang hadir dalam rapat tersebut yaitu Menpan RB Syafruddin dan Menteri Hukum dan Ham Yasonna Laoly.
Terkait poin revisi UU KPK, anggota Komisi III DPR Teuku Taufiqulhadi menyatakan, bahwa DPR telah sepakat bahwa Dewan Pengawas KPK dibentuk oleh Presiden. Ia mengatakan alasan akhirnya DPR setuju bahwa Dewan Pengawas KPK dibentuk Presiden untuk menghindari adanya kepentingan politik.
"Kami anggap ya untuk sementara ini agar tidak membuat nanti tarik-menarik dari berbagai kepentingan politik maka kami anggap yang tepat Presiden. Sekaligus juga untuk menyanggah bahwa ada pendapat ada kepentingan DPR," kata Taufiqulhadi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (16/9).
Kendati demikian ia mengungkapkan masih ada dua fraksi yang memberikan catatan. Dua fraksi tersebut yaitu PKS dan Gerindra.
"Fraksi itu menghendaki 50-50 (Dewan Pengawas) DPR dengan presiden," ujarnya.
Menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia proses pembentukan RUU Revisi UU KPK sudah bermasalah sejak awal. Selain melanggar Undang-Undang 12/2011 dan Tata Tertib DPR karena prosesnya tidak melalui tahapan perencanaan, penyiapan draf RUU dan Naskah Akademik revisi UU KPK pun dilakukan tertutup tanpa pelibatan publik secara luas.
PSHK pun mendorong Presiden Joko Widodo untuk menarik kembali Surpres dalam proses pembentukan RUU Revisi UU KPK. Penarikan kembali dapat dilakukan dengan berdasar kepada asas contrarius actus yaitu asas dalam hukum administrasi negara yang memberikan kewenangan pada pejabat negara untuk membatalkan keputusan yang sudah ditetapkannya.
"Artinya, Presiden berwenang untuk membatalkan atau menarik kembali Surpres yang sudah ditetapkan sebelumnya," kata Direktur Jaringan dan Advokasi PSHK Fajri Nursyamsi.