Senin 16 Sep 2019 18:45 WIB

Menteri Yohana: Perkawinan Anak Harus Segera Dihentikan

Revisi aturan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun sudah disahkan.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Nur Aini
Kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak. (Ilustrasi)
Foto: Aditya Pradana Putra/Antara
Kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise, mengatakan praktik perkawinan anak harus segera dihentikan. Ia mengaku sangat bersyukur bahwa revisi batas usia perkawinan akhirnya bisa disahkan oleh DPR.  

“Fakta-fakta menunjukkan bahwa praktik perkawinan anak harus segera dihentikan, dan jika kondisi ini tidak dicegah akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi 'Darurat Perkawinan Anak'," ujar Yohana dalam keterangan tertulis KemenPPPA yang diterima Republika.co.id, Senin (16/9). 

Baca Juga

Pemerintah bersama DPR telah mengesahkan RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Senin. Dalam revisi tersebut batas minimal umur perkawinan bagi perempuan dan laki-laki dipersamakan, yaitu 19 tahun. 

"Rasa sedih dan bahagia karena akhirnya tercapai, disahkannya revisi Undang-Undang Pekawinan dengan batas usia perkawinan minimal bagi perempuan dan laki-laki sama-sama 19 tahun. Ini luar biasa, kami senang sekali, akhirnya setelah 45 tahun (menggunakan UU Perkawinan)," ujarnya.

"Ini kado bagi anak-anak Indonesia yang pernah saya janjikan di Peringatan Hari Anak Nasional tahun 2019 kemarin, bahwa kami akan berusaha menaikkan angka batas usia perkawinan di atas usia anak. Sebuah sejarah yang harus dicatatkan,” kata Yohana. 

Dia menjelaskan, ada banyak sekali masalah yang ditimbulkan akibat praktik perkawinan anak. Pertimbangan 19 tahun juga didasarkan bahwa seseorang dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, dapat menekan laju kelahiran yang lebih rendah, dan menurunkan risiko kematian ibu dan bayi serta pekerja anak. Selain itu, juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak.

"Keputusan atas pengesahan RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini sangat dinantikan oleh seluruh warga Indonesia dalam upaya menyelamatkan anak Indonesia atas praktik perkawinan anak yang sangat merugikan anak, keluarga dan Negara, serta sebagai bukti bahwa Indonesia mampu menjawab salah satu persoalan perlindungan anak,” kata Yohana. 

Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-7 di dunia dan ke-2 di ASEAN dengan angka perkawinan anak tertinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017, praktik perkawinan anak di Indonesia menunjukkan angka 25,2 persen. Hal itu artinya 1 dari 4 anak perempuan menikah pada usia anak, yaitu sebelum mencapai usia 18 tahun. Sedangkan pada 2018, angka perkawinan anak yang tercatat BPS sebesar 11,2 persen. Artinya 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Selain itu, ada 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan anak di atas angka nasional.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement