Senin 16 Sep 2019 13:20 WIB

Revisi UU KPK: DPR Respons Usulan Presiden Jokowi

Sejumlah pasal revisi UU KPK dinilai menimbulkan kontroversi memperlemah KPK

Rep: Arif Satrio Nugroho, Rizky Suryarandika/ Red: Elba Damhuri
Pegawai KPK melintas di dekat keranda mayat di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/9).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pegawai KPK melintas di dekat keranda mayat di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pembahasan rancangan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK) mulai memasuki tahap krusial di DPR. Anggota DPR akan mulai membahas dan mendalami masukan-masukan pemerintah dalam rapat yang dijadwalkan dimulai hari ini.

Pembahasan tersebut dilakukan setelah pada Jumat (13/9) lalu Panitia Kerja (Panja) Revisi UU KPK menggelar rapat tertutup. "Dilanjutkan pada Senin (16/9) yang akan datang," kata Ketua Panja Supratman Andi Agtas, kemarin.

Pembahasan revisi UU KPK yang disetujui pemerintah dan DPR sendiri telah berjalan sejak Kamis (12/9) malam. Saat itu, pihak pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membacakan masukan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal revisi UU tersebut.

Supratman menyatakan, masukan pemerintah persebut akan diperdalam dalam rapat selanjutnya. "Ada beberapa poin yang substantif sekali yang merupakan usulan pemerintah yang masih memerlukan pembahasan lebih dalam," kata Supratman.

Ia mengatakan, semua masukan akan dipertimbangkan. Menurut dia, masing-masing fraksi memiliki pendapat masing-masing tentang usulan tersebut.

"Ada beberapa substansi yang merupakan substansi usulan pemerintah yang harus kita sesuaikan dengan pendapat fraksi-fraksi," ujar Supratman.

Ia juga mengatakan, sikap masing-masing fraksi masih dinamis.

Pada Jumat pagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan kesediaan pemerintah mengakomodasi sejumlah pasal perubahan dalam revisi UU KPK. Di antaranya, ia menyetujui perubahan kelembagaan KPK menjadi lembaga pemerintah pusat dengan konsekuensi pegawainya akan dijadikan aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K).

Pasal itu sebelumnya ditolak KPK dan lembaga pegiat antikorupsi dengan alasan akan melemahkan independensi KPK.

Jokowi juga menyepakati dibentuknya unsur baru di KPK, yakni dewan pengawas. Jokowi ingin dewan pengawas ini dipilih dan ditunjuk langsung oleh presiden melalui proses seleksi.

"KPK cukup meminta izin (penyadapan) internal dewan pengawas untuk menjaga kerahasiaan," ujar Jokowi.

Pandangan Jokowi senada dengan Pasal 12B RUU KPK. Penyadapan dari dewan pengawas ini juga menjadi salah satu pasal yang ditolak KPK dan berbagai pihak yang mengklaim prolembaga itu.

Presiden juga sepakat bahwa KPK diberi kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan alias SP3. Kewenangan itu juga sebelumnya ditolak KPK dengan alasan seluruh kasus yang ditangani KPK ditangani dengan hati-hati dan pasti didahului bukti-bukti permulaan yang kuat.

Selain itu, Jokowi menyatakan, pemerintah tak setuju bahwa penuntutan harus melalui koordinasi dengan Kejaksaan Agung, juga tak setuju bahwa pelaporan laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) tak harus ke KPK. Presiden juga tak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya dari kepolisian dan kejaksaan.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyatakan kini menunggu panggilan dari DPR soal tindak lanjut revisi tersebut. "Kita menunggu info dari Baleg DPR untuk selanjutnya. Kita mengikuti iramanya DPR saja," kata Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kemenkumham Bambang Wiyono, Ahad (15/9).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement