Kamis 12 Sep 2019 14:07 WIB

Pakar: Surpres Revisi UU KPK Ngeri-Ngeri Sedap

Jika presiden menyetujui semua usulan DPR, tamatlah KPK.

Sejumlah unsur masyarakat berbondong-bondong mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak Rabu (11/9) malam hingga Kamis (12/9) dinihari. Aksi yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari sejumlah kampus, Gerakan Antikorupsi (GAK) dan alumni lintas perguruan tinggi serta sejumlah aktivis antikorupsi ini merupakan reaksi atas langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI.
Foto: Dok KPK
Sejumlah unsur masyarakat berbondong-bondong mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak Rabu (11/9) malam hingga Kamis (12/9) dinihari. Aksi yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari sejumlah kampus, Gerakan Antikorupsi (GAK) dan alumni lintas perguruan tinggi serta sejumlah aktivis antikorupsi ini merupakan reaksi atas langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI.

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho menyayangkan kebijakan Presiden Joko Widodo yang telah menandatangani dan mengirimkan Surat Presiden (Surpres) revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ke DPR.

Ia menilai, jika surpres dalam rangka revisi itu mengarah ke pelemahan KPK, akhirnya menjadi awal dari pemunduran upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Baca Juga

"Ya, ini (Surpres--Red) memang ngeri-ngeri sedap. Kita tidak tahu arah isinya, jangan sampai ini membuat kepercayaan publik, masyarakat, akademisi, dan tokoh kepada Presiden menjadi menurun. Ini yang kita khawatirkan," kataH ibnu Nugroho di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (11/9).

Kendati demikian, dia mengharapkan Surpres tersebut tidak mengarah ke pelemahan melainkan dalam upaya menguatkan posisi KPK. Ia menilai, jika isi Supres itu menyetujui dengan poin-poin yang diajukan oleh DPR maka tamatlah KPK. 

Publik tidak punya harapan lagi agar Indonesia  bisa bebas dari korupsi.  "Jangan diharapkan IPK-nya (Indeks Persepsi Korupsi) bisa naik lagi untuk bisa bersanding dengan negara-negara di Asia, bahkan di dunia," katanya.

Disinggung mengenai daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU KPK yang telah disusun oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta telah dikirimkan bersama Surpres kepada DPR, Hibnu mengatakan jika bisa, DIM tersebut dibacakan dan dibahas secara terbuka.

Selain itu, kata dia, DIM tersebut perlu dibahas dengan waktu yang cukup sehingga tidak tergesa-gesa. Ia mengaku khawatir DIM tersebut dibaca dalam waktu singkat dan diputuskan dalam kondisi yang sudah injury time.

"Kami harapkan bapak-bapak anggota Dewan yang terhormat tidak memaksakan kehendak. Kalau tidak cukup waktu, jangan diputuskan sekarang, melainkan dilimpahkan kepada anggota Dewan ke depan untuk dibahas kembali secara terbuka dengan masyarakat, akademisi, tokoh, dan sebagainya," katanya.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo pada hari Rabu (11/9) telah menandatangani dan mengirimkan Surpres revisi UU KPK ke DPR. Surpres bernomor R-42/Pres/09/2019 tersebut berisi penjelasan bahwa Presiden telah menugaskan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Syafruddin untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR.

Bersama Surpres tersebut, Presiden juga mengirimkan DIM revisi UU KPK yang telah disusun oleh Kemenkumham.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement