Kamis 12 Sep 2019 06:31 WIB

Dibalik Putusan Kebijakan Baru BPJS Kesehatan

Menkeu dinilai sangat berhati-hati dalam memutuskan kebijakan baru terkait BPJS.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Gita Amanda
Petugas melayani warga di Kantor Pelayanan BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Selasa (3/8/2019). P
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Petugas melayani warga di Kantor Pelayanan BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Selasa (3/8/2019). P

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah terkesan lambat dalam memutuskan membayarkan tunggakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Namun, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris mengatakan apa yang dilakukan pemerintah yakni untuk memastikan terlebih dahulu semua sudah sesuai.

Lebih lanjut, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani, dikatakan Fachmi, adalah sosok yang sangat hati-hati sehingga harus punya bukti dulu. Kemudian untuk ke depannya, akan dibangun sistem yang kokoh agar defisit tidak lagi terjadi, dan lima tahun ke depan bisa aman.

Baca Juga

“Yang harus kita bangun ke depan ini, kalau sistem ini akan sustain, pasti basisnya iuran dan jangan sampai basis dana tambahan. Ini moment of truth untuk memutuskan kebijakan baru,” kata Fachmi saat mengunjungi Kantor Harian Umum Republika di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (11/9) lalu.

Ia mengatakan, jika kebijakan baru telah diterapkan, pasti akan dilakukan evaluasi dua tahun setelah penerapannya. Yang jelas berbicara mengenai BPJS jangan difokuskan pada subsidinya, melainkan harus fokus pada kebijakannya yang kuat.

Sejak mengetahui terjadi defisit BPJS Kesehatan, Sri Mulyani tidak langsung yakin begitu saja dan benar-benar menggali dimana titik kesalahan manajemen dari BPJS Kesehatan ini. Lalu Sri Mulyani juga melibatkan pihak ketiga yang akhirnya dapat membuktikan itu, dan mulai berbicara kencang soal iuran.

Yang menjadi pertimbangan soal iuran ini, juga ada pada mekanisme Shortest-Job First (SJF), dimana mekanisme ini harusnya bisa membuat pelayanan rumah sakit lebih cepat. Tapi belum semua rumah sakit bisa menerapkan ini, dan ini menjadi salah satu yang ramai juga dibicarakan.

“Karena memang pilihannya di situ. Kita mau gotong royong dan membantu kesadaran jamin kesehatan diri, ini harus didorong. Nah memang prosesnya ini jadi makan waktu dan berlarut-larut,” ungkap Fachmi.

Sebelumnya diberitakan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mendorong masyarakat untuk disiplin dan aktif membayar iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sebab, kedisiplinan dan keaktifan peserta sangat berperan dalam menyukseskan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Imbauan tersebut disampaikan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (Biro KLI) Kemenkeu Nufransa Wira Sakti. Menurut dia, sikap disiplin dan aktif membayar iuran merupakan wujud kegotongroyongan dalam mendukung program JKN sebagai asuransi sosial.

Ia mengakui sifat gotong royong dalam BPJS Kesehatan belum tersosialisasikan dengan baik. Padahal, nilai itu yang menjadikan BPJS solusi kesehatan bagi penduduk Indonesia.

“Masih banyak mereka yang belum menyadari ini. Mari kita juga mencarikan solusi agar masyarakat Indonesia sehat sejahtera menuju SDM unggul, Indonesia maju,” kata Nufransa dalam siaran pers, Selasa (10/9).

Ia menjelaskan, JKN merupakan asuransi sosial dengan prinsip gotong royong. Masyarakat yang kaya membantu yang miskin dengan membayar iuran lebih besar. Peserta yang sehat membantu peserta yang sedang mengalami sakit. Maksudnya, kata dia, peserta yang sehat membayar iuran, tetapi tidak memanfaatkan layanan kesehatan atau membutuhkan layanan kesehatan yang lebih minimal.

“Oleh karena itu, yang sehat pun harus rajin dan patuh membayar iuran. Kita juga perlu memberitahukan informasi kepada saudara-saudara kita yang tidak mampu bahwa pemerintah menjamin layanan kesehatan mereka,” ujar Nufransa.

Menurut catatan Kemenkeu, rata-rata jumlah layanan kesehatan melalui JKN mencapai 640.822 layanan setiap hari. Selama 2018, total pemanfaatan layanan kesehatan melalui JKN mencapai 233,9 juta layanan. Layanan tersebut terdiri atas 147,4 juta layanan pada Fasilitas Kesehatan Tahap Pertama (FKTP), 76,8 juta layanan rawat jalan RS, dan 9,7 juta layanan rawat inap RS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement