REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rokok elektrik (vaporizer) diakui memiliki wujud dan kandungan yang berbeda dengan rokok biasa. Bagaimanapun, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan, bahaya rokok elektrik tidak berbeda daripada rokok konvensional.
“Saya sudah baca penelitian dan kalau lihat tulisan-tulisan di luar negeri menyatakan vape memang berbahaya,” ujar Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek di Jakarta, Selasa.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono menegaskan, rokok elektrik menyimpan risiko bahaya bagi tubuh. Sebab, barang yang populer disebut vape itu mengandung zat-zat beracun, seperti halnya rokok tembakau. Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO, rokok yang berbahan baku tembakau mengandung minimal empat ribu zat beracun.
“Vape sama berbahayanya dengan rokok tembakau, meskipun kandungannya bisa berbeda. Yang jelas, bahan bakunya beracun. Tetapi, saya tidak hafal persis apa saja (kandungan rokok elektrik),” ujar Anung di tempat yang sama.
Dia mengatakan, Kemenkes sudah mengirimkan surat edaran ke Dinas Kesehatan tiap provinsi dan kabupaten se-Indonesia mengenai bahaya rokok elektrik. Di dalam surat tersebut, pihaknya menekankan rokok elektrik sama berbahayanya dengan rokok biasa. Selain itu, lanjut Anung, Kemenkes juga terus berupaya meningkatkan kesadaran publik untuk menghindari konsumsi rokok, baik yang elektrik maupun nonelektrik.
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak pemerintah untuk segera mengatur rokok elektrik sebagaimana rokok biasa. Sejauh ini, aturan yang sudah ada masih seputar cukai rokok elektrik.
Anung mengatakan, pihaknya mendorong revisi atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Langkah itu dinilai perlu supaya rokok elektrik dapat dimasukkan ke dalam kategori produk tembakau dan turunannya.
“Saya melihat ada celah yang bisa dikoreksi bersama karena saat ini PP 109 yang di dalamnya mengatur tembakau dan produk turunannya sedang direvisi. Vape diharapkan bisa masuk di PP tersebut, sama seperti rokok tembakau, yaitu di kategori produk sintetis atau kimia,” ucap Anung.
Rokok Elektrik/ Vape
Kemenkes sejauh ini telah mengusulkan tiga aspek untuk dimasukkan ke dalam revisi PP Nomor 109 Tahun 2012. Pertama, soal perluasan batasan rokok dan produk rokok. Kedua, ukuran gambar peringatan kesehatan (pictorial health warning PHW) yang mesti diperbesar dari yang ada saat ini. Ketiga, pengaturan tentang iklan atau promosi rokok. “Karena masih ada ruang yang belum dijangkau (PP 109/2012), misalnya, di sebuah toko menyertakan gambar rokok yang besar,” kata dia.
Revisi PP 109/2012 hingga kini belum final. Menurut Anung, hal itu disebabkan masih adanya kendala harmonisasi antarkementerian. Dia menyebut, belum ada kata sepakat antara Kemenkes, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Kemenko Perekonomian. Bahkan, lanjut Anung, persoalan rokok elektrik tidak banyak disinggung di dalam rancangan perubahan PP tersebut.
Oleh karena itu, dengan PP yang ada saat ini, Kemenkes tidak bisa berbuat banyak untuk mengendalikan peredaran dan penggunaan rokok elektrik. Meskipun demikian, Anung mengatakan, pihaknya berusaha semaksimal mungkin. “Kami sudah memasukkan vape dalam kawasan tanpa rokok (KTR). Sebab, kami sudah menambahkan pengertian rokok elektrik yang termasuk dalam KTR,” ujar dia.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengeluhkan, belum adanya peraturan yang tegas untuk membatasi produk ini. “Belum ada regulasi untuk memberikan izin edar, aspek keamanan, dan mutu dari bahan aktifnya,” kata Penny saat dihubungi Republika, Selasa. n rr laeny sulistyawati. ed. hasanul rizqa