REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, minimnya bibit awan saat ini membuat pemerintah sulit melakukan modifikasi cuaca dengan hujan buatan. Hanya saja dari laporan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), bibit awan terpantau muncul di wilayah Kalimantan sejak kemarin.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugadirman menyatakan, di wilayah Kalimanten Tengah dan Kalimantan Barat sudah mulai terdapat pergerakan awan yang mencukupi menjadi bibit awan. Sehingga tindaklanjutnya dapat segera dilangsungkan modifikasi cuaca dengan hujan buatan.
“Kalau belum ada bibit awannya, memang kami belum bisa masif bikin hujan buatan. Tapi di Kalimantan dari laporannya sudah ada (bibit awan),” ujarnya, di KLHK, Jakarta, Selasa (10/9).
Dia menjabarkan, saat ini hujan buatan yang telah dilakukan antara lain di kawasan Sumatra meliputi Riau dan Musi Banyuasin. Sedangkan di wilayah Sumatra Selatan, kata dia, terdapat laporan bahwa bibit awan masih minim sehingga belum mencukupi untuk dilakukan modifikasi cuaca.
Kepala BMKG Dwi Korita menyatakan, hujan buatan hanya dimungkinkan terjadi apabila bibit awannya mencukupi. Saat ini di Indonesia, bibit awan yang terpantau baru berada di kawasan Kalimantan sehingga modifikasi cuaca melalui hujan buatan dapat ditindaklanjuti.
Hanya saja Dwi menegaskan, sejak beberapa bulan lalu BMKG dan KLHK serta satuan tugas lainnya di lapangan telah melakukan persiapan modifikasi cuaca. Namun sayangnya, bibit awan memang belum masif muncul di wilayah-wilayah karhutla maupun hotspot. “Kami siapkan (persiapan) sejak beberapa bulan lalu, tapi memang bibit awannya minim,” ungkapnya.
Lebih lanjut BMKG memprediksi pada akhir Oktober musim kemarau masih berlangsung. Pada awal hingga pertengahan November, kata dia, kemungkinan adanya bibit awan dapat terjadi sehingga modifikasi cuaca dapat dilakukan secara masif. “Untuk bulan November dan selanjutnya bahkan kami perkirakan hujan sudah masuk, sehingga kita bisa terbantu untuk pemadaman,” jelasnya.
Dwi melanjutkan, untuk itu sambil menunggu waktu tersebut hal yang perlu digarisbawahi adalah untuk persiapan di September dan Oktober khususnya untuk wilayah Indonesia di selatan khatulistiwa. Misalnya di Sumatera meliputi wilayah Jambi ke selatan, dan Oktober untuk wilayah Sumatera Selatan. Sedangkan yang di Kalimantan Tengah dan Selatan masih berpotensi untuk terjadinya hotspot pada kurun Oktober.