Selasa 10 Sep 2019 19:46 WIB

MPR: Haluan Negara Berbeda dengan GBHN Orde Baru

Adanya kewenangan tersebut tidak dimaksudkan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi

Rep: my28/ Red: Fernan Rahadi
Ketua Badan Pengkajian MPR Bambang Sadono.
Foto: MPR RI
Ketua Badan Pengkajian MPR Bambang Sadono.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Anggota Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Bambang Sadono memaparkan bahwa banyak kesalahpahaman di masyarakat yang mengira lembaga MPR hendak mengembalikan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) seperti layaknya Orde Baru.

Rumusan yang dirancang oleh badan pengkajian MPR RI tersebut merupakan Haluan Negara yang berisikan program jangka Panjang 10-15 tahun mendatang. Salah satunya merupakan landasan haluan pembangunan. 

Adanya kewenangan tersebut tidak dimaksudkan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi, melainkan MPR memiliki kewenangan yang tinggi yakni dapat merumuskan Haluan Negara.

"Beda halnya jika MPR bertugas kembali untuk memilih presiden dan wakil presiden layaknya masa Orde Baru,” tuturnya dalam acara diskusi panel dengan tema “Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, bertempat di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta (10/9). 

Sejalan dengan hal tersebut, Guru Besar Filsafat UGM Prof Kaelan menuturkan tidak boleh ada lembaga tinggi yang disamakan atau sejajar kewenangannya. Menurut dia, perlu adanya lembaga yang memiliki kewenangan lebih tinggi dari lainnya dan diatur secara sistematis sebagaimana teori Friedman,” ujarnya dalam kegiatan diskusi panel tersebut. 

Sementara itu, Sekretaris Jenderal MPR RI, Ma’ruf Cahyono dalam sambutannya menuturkan  perspektif di kalangan masyarakat tersebut perlu diluruskan. Sebab, pengakomodiran Haluan Negara sebagai kewenangan MPR merupakan suara masyarakat itu sendiri. Sebanyak 85 persen berdasarkan sosialisasi yang telah dilakukan MPR dalam beberapa tahun terakhir.  

Tentunya, perubahan kewenangan MPR tidak dapat dilakukan dengan mudah. Perlu adanya amandemen yang pengaturannya telah termuat dalam Pasal 37 UUD NRI 1945.  "Badan Pengkajian MPR RI dalam hal ini melimpahkan keputusan wacana tersebut kepada pimpinan fraksi parlemen," kata Bambang. 

Narasumber lain dalam kegiatan diskusi panel tersebut, Ratno Lukito, menyampaikan saat ini terdapat tiga golongan yang menginginkan adanya amandemen perubahan UUD 1945. Pertama,  mereka yang menginginkan adanya amandemen kelima. Kedua, mereka yang ingin kembali pada UUD 1945 amandemen sebelumnya. "Ketiga, kelompok yang menginginkan adanya perlakuan pembenahan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia," kata Guru Besar Ilmu Hukum UIN Kalijaga tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement