Rabu 11 Sep 2019 00:03 WIB

Alumni YLBHI Tolak Revisi UU KPK

Jokowi diminta bersikap tegas tolak revisi UU KPK.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Andri Saubani
Praktisi Hukum, Abdul Fickar Hadjar
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Praktisi Hukum, Abdul Fickar Hadjar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) kembali mendapat penolakan. Kali ini, penolakan itu datang dari alumni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH). Mereka mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersikap tegas menolak revisi UU KPK tersebut.

"Mendesak Presiden Joko Widodo untuk tidak mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) menyetujui pembahasan RUU Revisi UU KPK serta mengembalikan RUU Revisi KPK kepada DPR," kata Pakar Hukum Abdul Fickar Hadjar dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (10/9).

Menurutnya, revisi UU KPK berpotensi mengancam melumpuhkan eksistensi dan kewenangan KPK karena RUU tersebut meniadakan kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan. Dia juga mengkritik akan dibentukanya lembaga inkonstitusional Dewan Pengawas KPK, penambahan wewenang untuk menerbitkan SP3 dan status pegawai KPK.

"Pada saat ini, KPK berhasil membongkar kasus-kasus korupsi karena adanya kewenangan penyadapan, dan jika KPK harus mendapatkan izin penyadapan dari Dewan Pengawas KPK maka berpotensi ada intevensi dan penyalahgunaan persetujuan penyadapan tersebut," katanya.

Abdul melanjutkan, KPK secara konstitusional merupakan lembaga negara independen. Oleh karena itu KPK harus diberikan kewenangan untuk melakukan rekruitmen pegawainya secara independen termasuk rekruitmen penyidik dan penuntutnya sendiri.

Dia mengatakan, KPK merupakan lembaga negara yang tidak berada di bawah lembaga eksekutif, legilsatif dan yudisial. Tegas dia, ratio legis UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 secara jelas menegaskan bahwa kelahiran lembaga KPK merupakan trigger mechanism untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Dan sampai saat ini konsep trigger mechanism masih diperlukan di Indonesia dalam pemberantasan korupsi," katanya.

Oleh karena itu, Abdul mengatakan, KPK mempunyai wewenang yang unik yaitu sebagai penyidik dan penuntut, dan tidak mempunyai wewenang untuk menerbitkan SP3. Trigger mechanism, paparnya, lahir dari asas korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Lebih jauh, dia mengatakan jika "bola panas" revisi UU KPK kini berada di tangan Presiden Jokowi. Dia mengingatkan, pada saat kampanye Pilpres 2019, Presiden Jokowi juga berjanji untuk memperkuat KPK. Dia menuntut presiden untuk membuktikan janjinya tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement