Senin 09 Sep 2019 16:25 WIB

Siapa yang Paling Diuntungkan dari Revisi UU KPK?

Revisi UU KPK akan melemahkan kekuatan lembaga tersebut.

Fitriyan Zamzami, wartawan Republika
Foto: Dok pribadi
Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

Masyarakat mudah-mudahan masih ingat salah dua dari kasus-kasus besar yang ditangani KPK belakangan. Yang cukup menghebohkan, penangkapan Ketua Umum PPP Romahurmuziy pada Maret 2019 lalu, tak lama sebelum pemilihan umum. Ia saat itu ditangkap dengan tudingan jual beli jabatan di Kementerian Agama.

Yang juga bikin heboh, adalah penangkapan Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun sekitar dua bulan lalu. Kader Partai Nasdem itu ditangkap dengan tudingan menerima suap terkait proyek reklamasi di Pulau Batam.

Dua kasus dalam banyak hal memantik ketertarikan masyarakat dan memberikan gambaran menyedihkan soal korupsi politik dan birokrasi di Indonesia. Tapi yang ingin saya sampaikan, kasus semacam yang dua itu tak akan bisa ditangani KPK jika revisi UU KPK disahkan.

Apa hal? Begini, dalam dua kasus tersebut barang bukti yang disita KPK dalam operasi tangkap tangan sedianya tak sebegitu banyak dalam skala memalukan korupsi di Indonesia. Pada kasus Romahurmuziy, yang diketahui sebanyak Rp 156 juta, dan pada kasus Gubernur Riau sekitar Rp 150 juta (11 ribu dolar Singapura ditambah Rp 45 juta).

Sebenarnya, KPK dirancang untuk menangani korupsi kakap dengan nilai di atas Rp 1 miliar. Namun, KPK bisa menangani dua kasus itu karena tak terbantahkan lagi, keduanya menarik perhatian publik dan merupakan tindakan yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Klausul itu secara legal formil tercantum dalam Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Nah, kriteria itu juga yang dihilangkan pada draf revisi yang saat ini digodok di DPR. Pengusul revisi UU KPK menginginkan, hanya kasus terkait uang senilai Rp 1 miliar lebih saja yang bisa ditangani KPK, titik. Di bawah itu, jadi kewenangan kepolisian dan kejaksaan semata.

Ini kabar baik bagi para kepala daerah korup. Karena kebanyakan rekan-rekan mereka yang ramai-ramai ditangkap KPK belakangan memang tak sampai sebegitu banyak barang bukti sitaannya. Sementara kepolisian dan kejaksaan sampai sejauh ini jarang sekali melakukan penangkapan terhadap kepala daerah.

Di atas baru satu contoh bagaimana KPK akan terdampak dengan revisi UU KPK yang saat ini digodok DPR. Perihal lainnya adalah soal unsur baru bernama Dewan Pengawas yang dicantumkan dalam Pasal 3 rancangan revisi UU KPK. Dewan ini nantinya dicalonkan presiden dan disetujui DPR (Pasal 37E ayat 1).

Dewan ini bakal punya kekuatan luar biasa di KPK karena penyadapan (Pasal 12B ayat 1 dan 2), serta penggeledahan dan penyitaan (Pasal 47 ayat 1), hanya bisa dilakukan dengan “izin tertulis” lima orang tersebut. Pasal selanjutnya mengatur, Dewan Pengawas punya hak menolak memberikan izin tersebut.

Niat baiknya, barangkali, supaya penyidik di KPK bisa lebih terkontrol kerjanya. Meski begitu, yang diabaikan adalah bahwa kebocoran penanganan perkara juga bukan hal yang tak pernah terjadi di KPK.

Kita ingat kasus pembocoran sprindik mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pada 2014 yang memaksa pemerintah membentuk Komite Etik KPK guna menelisik kasus tersebut. Ada juga kasus kaburnya dua tersangka KPK, Nazarudin dan Nunun Nurbaeti pada 2011 beberapa saat sebelum surat penyidikan mereka dikeluarkan KPK.

Nah, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih pemerintah dan DPR, tentu membuka lebih lebar potensi kebocoran tersebut. Terlebih, yang harus dilaporkan dan dimintakan izin ke mereka adalah tahap awal penyelidikan seperti penyadapan dan penggeledahan. Ada potensi penghilangan barang bukti di situ.

Argumen utama yang dipakai pembentukan dewan ini adalah bahwa KPK butuh pengawasan. Argumen ini bisa di balik ke Dewan Pengawas. “Dengan kewenangan sebegitu besar, siapa yang mengawasi Dewan Pengawas?”

Dampak selanjutnya dari rancangan revisi UU KPK ada pada Pasal 43 dan 45. Pada Pasal 43, diatur bahwa penyelidik KPK harus berasal dari kepolisian. Proses pengangkatan mereka dengan syarat-syarat yang dipenuhi juga adalah kewenangan kepolisian.

Ini akan merombak habis-habisan postur KPK saat ini. Pasalnya, sejauh ini seluruh penyelidik KPK adalah rekrutan sendiri ditambah beberapa auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan satu dari kepolisian. Jumlahnya sekitar delapan satgas dengan 90 personel. Seluruhnya hilang kewenangannya begitu saja dengan regulasi baru.

Seluruh hasil penyelidikan yang sementara ini mereka lakukan harus diserahkan pada orang-orang baru yang masih harus menyesuaikan ritme kerja KPK dan belum terjamin “bersih”. Ratusan perkara bakal mangkrak atau setidaknya pasti membutuhkan waktu lebih lama untuk naik ke penyidikan.

Keberadaan penyelidik rekrutan sendiri di KPK ini sedianya batu loncatan menuju tingkat selanjutnya, yakni penyidik. Nah, hal ini juga bakal dihambat dengan revisi regulasi baru. Pasal 45 mengatur bahwa penyidik KPK harus berasal dari kepolisian, kejaksaan agung, atau “penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang”.

Sementara hingga 2019 ini, di KPK ada 63 penyidik berstatus pegawai tetap, 50 penyidik dari kepolisian, dan lima dari pegawai negeri sipil. Artinya, regulasi yang baru mengancam lebih dari separuh kekuatan penyidikan di KPK.

Jika dengan kekuatan saat ini saja pihak KPK kewalahan menangani begitu banyak kasus yang dilaporkan ke lembaga antirasuwah itu, bisa dibayangkan bagaimana nanti. Ini pasal juga sedianya melawan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 yang memberi lampu hijau bagi KPK merekrut penyidik secara independen.

Demikian juga dengan penuntutan. Pada Pasal 12A, KPK wajib mengoordinasikan penuntutan dengan Kejaksaan Agung, hal yang tak diatur dalam regulasi sebelumnya. Bakal ada konflik kepentingan di sini semisal kasus yang ditangani KPK adalah suap yang menimpa oknum kejaksaan. Dan kita tahu, bukan sekali dua kali KPK memergoki para jaksa main curang. Selain itu, konflik kepentingan juga bisa muncul karena jaksa agung adalah pihak yang ditunjuk presiden, apalagi tak haram datang dari kader partai politik.

Dan seluruh poin-poin di atas akan berkelindan dengan Pasal 40 di rancangan revisi UU KPK. Dalam pasal itu, diatur bahwa KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun. Dalam aturannya, hal ini adalah kewenangan KPK, meski begitu, klausul ini bisa jadi alasan bagi para pengacara mendesak penghentian kasus yang berjalan lebih dari setahun.

Sementara penuntasan kasus dalam waktu singkat di KPK sudah lebih dulu dihambat prosedur permintaan izin ke Dewan Pengawas, pengurangan penyelidik dan penyidik, koordinasi penuntutan dengan Kejaksaan Agung, serta tuntutan barang bukti atau kerugian negara di atas Rp 1 miliar. Para pengusul revisi UU KPK berkeras, yang mereka lakukan adalah untuk penguatan KPK selain upaya membuat regulasi itu lebih “kekinian”. Sementara para pegawai dan pimpinan KPK sepakat bahwa revisi regulasi baru akan sangat melemahkan lembaga itu.

Bagaimana kalau kita menggunakan saja adagium ternama terkait motif kejahatan itu, “Siapa yang paling diuntungkan?”. Siapa yang diuntungkan bila korupsi kecil-kecilan tapi menarik perhatian publik tak bisa ditangani KPK? Siapa yang diuntungkan bila mereka bisa menempatkan pengawas-pengawas pilihan mereka untuk mengetahui mengetahui lebih dulu dan memberi izin penanganan kasus di KPK? Siapa yang diuntungkan bila semua penyelidik di KPK dari kepolisian, salah satu lembaga yang indeks korupsinya paling memprihatinkan? Siapa yang diuntungkan bila penuntutan harus melalui kejaksaan yang oknumnya beberapa kali diringkus KPK? Siapa yang diuntungkan bila kasus korupsi bisa dihentikan di tengah jalan?.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement