Senin 09 Sep 2019 06:48 WIB

Jokowi Didesak Tolak Upaya Pelemahan KPK

Pemilihan capim KPK dan revisi UU KPK merupakan bagian dari pelemahan KPK.

Aksi simbolik pegawai dan pimpinan KPK menyelimuti Gedung KPK dengan kain hitam karena KPK akan diselimuti kegelapan ketika revisi UU KPK isinya dapat melumpuhkan KPK disetujui dan jika Pimpinan diisi orang-orang bermasalah, Gedung Merah Putih KPK, Ahad (8/9).
Foto: dok. KPK
Aksi simbolik pegawai dan pimpinan KPK menyelimuti Gedung KPK dengan kain hitam karena KPK akan diselimuti kegelapan ketika revisi UU KPK isinya dapat melumpuhkan KPK disetujui dan jika Pimpinan diisi orang-orang bermasalah, Gedung Merah Putih KPK, Ahad (8/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Kawal KPK, Henri Subagyo, mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menolak upaya pelemahan KPK. Pemilihan calon pimpinan (capim) KPK yang masih mencantumkan nama individu dengan rekam jejak bermasalah serta revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan bagian dari agenda pelemahan lembaga antirasuah tersebut.

"Publik dan media telah banyak meliput dan menunjukkan data serta fakta mengenai proses dan pilihan capim KPK, sehingga sama sekali tidak ada alasan informasi tersebut tidak sampai ke Presiden," kata pria yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) itu saat dihubungi di Jakarta, Ahad (8/9).

Baca Juga

Ia menambahkan sudah saatnya Presiden Joko Widodo mempergunakan perannya dalam politik untuk berkomunikasi dengan partai pendukungnya agar tidak memilih calon bermasalah untuk capim KPK. Selain itu, usulan revisi UU KPK juga seharusnya ditolak jika salah satu agenda utama Presiden Jokowi yang disampaikan pada masa kampanye adalah reformasi regulasi dalam bentuk membenahi perencanaan, perancangan, dan penyusunan peraturan perundang-undangan.

Apalagi jika mengingat proses pengusulan revisi UU KPK ini melanggar prosedur perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 dan Peraturan Tata Tertib DPR. "Jika Presiden Jokowi tidak merespons DPR dan mengirimkan Surat Presiden (Surpres) yang menunjuk Kementerian untuk membahas revisi UU KPK, berarti Presiden konsisten dengan agendanya sendiri untuk melakukan reformasi regulasi," tulis Henri.

Selain itu, Jokowi juga perlu konsisten dengan kalimatnya bahwa beliau mendukung penuh kerja KPK. Apalagi bila mengingat kinerja KPK yang positif berdampak pada kemenangannya pada pemilu presiden 2019 lalu.

Mengutip Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 26 Agustus 2019, 63,4 persen responden yang puas dengan kinerja KPK adalah pemilih Jokowi-Ma’ruf. Sejumlah inisiatif yang dilakukan KPK, seperti penggunaan kerusakan lingkungan ketika menghitung kerugian negara dalam kasus Gubernur non-aktif Sulawesi Tenggara Nur Alam.

Ia mengatakan inisiatif itu mungkin tidak akan terjadi lagi jika revisi UU KPK terjadi dan capim KPK dengan rekam jejak bermasalah terpilih. Menurut Henri, insiatif KPK yang seperti itu seharusnya menjadi pengingat utama Presiden Jokowi sebelum memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan KPK.

Kendati demikian, masih ada jalan bagi Presiden Jokowi untuk menggunakan posisi politiknya dengan menghentikan proses ini dengan menunjukkan keberpihakannya bersama publik untuk menghentikan agenda pelemahan KPK. Berdasarkan argumen di atas, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari ICEL dan sepuluh organisasi nonprofit lainnya sepakat meminta Presiden Joko Widodo untuk melakukan lima langkah.

Langkah itu di antaranya, tidak menerbitkan Surpres atas RUU Revisi UU KPK yang diusulkan DPR dan melakukan komunikasi intensif dengan parpol pendukung pemerintah agar tidak memilih capim KPK bermasalah. Presiden juga perlu meminta untuk tidak melanjutkan rencana pembahasan Revisi UU KPK serta menunjukkan sikap yang jelas dan responsif serta berpihak pada publik dan mendukung penuh upaya publik dalam melawan segala bentuk usaha pelemahan KPK.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement