REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M Syarif, meminta Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah membuktikan pernyataannya yang menyebut usulan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) berasal dari internal KPK.
Dalam pernyataannya pada Jumat (6/9) kemarin, Fahri bahkan menyebut Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pun menjadi salah satu pihak yang menyetujuinya.
"Saya minta pak Fahri Hamzah menunjukan surat permintaan internal KPK tersebut," kata Syarif saat dikonfirmasi, Sabtu (7/9), sembari menambahkan, "Jika dia (Fahri Hamzah) tidak bisa menunjukan surat permintaan itu, berarti dia (Fahri Hamzah) melakukan pembohongan publik, dan memutarbalikan fakta," tambah Syarif.
Sebelumnya, Fahri mengatakan, permintaan revisi UU KPK ini telah sesuai dengan permintaan banyak pihak, termasuk pimpinan KPK, dan para akademisi. "Terutama dari pimpinan KPK dan orang-orang KPK sekarang sudah merasa ada masalah di UU KPK," ujar Fahri.
Menurut Fahri, DPR memang sejak lama ingin merevisi UU KPK. Namun, keinginan itu kerap tak berjalan mulus dan diwarnai polemik, di antaranya permintaan pemerintah untuk menunda revisi UU KPK.
Fahri mengatakan harus ada aturan hukum jelas yang mengatur wewenang KPK, termasuk adanya pengawas yang memantau seluruh pekerjaan KPK apakah sudah sesuai aturan undang-undang.
Apalagi, kata Fahri, KPK memiliki kewenangan besar dalam memberantas korupsi sehingga perlu ada Dewan Pengawas. "Intinya di mana ada kewenangan besar harus ada pengawas," jelas Fahri.
Sebelumnya, secara mendadak perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu disepakati oleh seluruh fraksi dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada 3 September 2019. Usulan Revisi UU tersebut diserahkan si Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (5/9).