REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil presiden terpilih, KH Ma'ruf Amin, mengutarakan rencananya berkunjung ke Papua untuk meredakan kondisi yang memanas. Keinginan itu disampaikan saat KH Ma'ruf menerima kunjungan sejumlah pendeta asal Papua di kediamannya di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin.
"Saya ingin berkunjung ke Papua dan kebetulan Papua ini mendukung Pak Jokowi dengan saya ini besar sekali, 91 persen (pada Pilpres 2019). Mudah-mudahan bisa ke sana," ujar KH Ma'ruf, Kamis (5/9).
KH Ma'ruf menjelaskan, kunjungannya ke Papua sebagai bentuk upaya pendekatan dan penghormatan terhadap masyarakat Papua. Menurut dia, berbagai macam pendekatan, mulai dari menjalin komunikasi dengan tokoh masyarakat dan pemuka agama hingga pendekatan kultural dan agama.
Hal itu seperti yang pernah dilakukan oleh Presiden ketiga RI, Abdurrahman Wahid. "Langkah-langkah melalui pendekatan budaya, pendekatan agama. Tokoh-tokoh agama ini sudah punya kesempatan untuk membangun keutuhan, termasuk di Papua," ujar KH Ma'ruf.
Selanjutnya Ma'ruf Amin juga tidak ingin kericuhan dan konflik di Papua berlarut-larut. Sebab hal itu dapat merugikan semua masyarakat Papua karena lumpuhnya aktivitas. Masyarakat Papua juga tidak ingin komunikasi dan transportasi di sana mandek karena konflik yang berakibat ekonomi menjadi lesu.
"Mereka ingin Papua menjadi daerah damai, wilayah damai. Damai disentuh harus ada pendekatan-pendekatan yang membuat ketenangan," kata Ma'ruf Amin.
Ketua rombongan pendeta asal Papua, Richard Tonjau, juga berharap Ma'ruf Amin dapat menggantikan sosok Abdurrahman Wahid dalam meredam konflik yang ada di tanah cenderawasih itu. "Maka kami tidak ragu-ragu untuk minta waktu untuk bertemu dengan Abah. Apa yang kami sampaikan tadi beliau menyambut itu dengan setia dan kami terima kasih banyak," kata Richard.
Tokoh lintas agama di Papua juga menyeru umat untuk menjaga Papua sebagai tanah damai. Seruan disampaikan di Jayapura dalam pertemuan yang diinisiasi Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama Papua dan Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Papua.
Seruan ini disampaikan menyusul demonstrasi menolak rasialisme yang berujung rusuh di Jayapura, Kamis, 29 Agustus 2019 lalu. “Papua sudah ditetapkan sebagai tanah damai. Kita tidak boleh mengalah pada strategi dan cara apa pun. Apa pun alasan dan kepentingannya, pimpinan agama harus tetap menjadikan Papua tanah damai. Kita para tokoh lintas agama menyatakan sikap bahwa damai dan kerukunan adalah harga mati," ujar Wakil Ketua Sinode GKI di tanah Papua, Pendeta Hizkia Rollo, dalam keterangannya yang didapat Republika, Kamis (5/9).
Uskup Jayapura, Leo Laba Ladjar, juga menyampaikan ajakan dan imbauan senada. Ia mengajak seluruh umat untuk membangun komunitas basis. Basis ini bukan hanya untuk satu suku, melainkan yang berdekatan. "Rukun dulu, bangun kerukunan. Kerukunan dan kedamaian jangan hanya membatasi diri pada satu agama atau suku, tapi pada siapa pun yang membutuhkan," ujar Leo.
Uskup Leo pun berpesan bahwa rasialisme, kecurigaan, dan komunalisme adalah hal yang perlu diberikan perhatian khusus. Masyarakat dan pemerintah perlu melihat hal ini lebih jauh agar masalah yang muncul benar-benar dapat diatasi secara mendasar dan tuntas.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Papua Amsal Yowei menyampaikan, rapat koordinasi yang dihadiri 40 peserta ini selain merupakan agenda rutin, kali juga digelar khusus untuk menyikapi kondisi sosial di Papua.
Dalam pertemuan yang dihadiri pengurus dan anggota FKUB Provinsi Papua, tokoh lintas agama, akademisi perguruan tinggi negeri dalam lingkup Kementerian Agama, dan jajaran pejabat pada Kantor Wilayah Kemenag Papua dihasilkan beberapa seruan. Di antaranya, mengimbau warga Papua menahan diri dari melakukan unjuk rasa dan meminta Kementerian Kominfo mencabut pembatasan akses internet di Papua.
Gelombang aksi unjuk rasa digelar di kota-kota utama di Papua dan Papua Barat sejak Senin (19/8). Protes itu bermula dari unjuk rasa protes warga Papua dan Papua Barat atas insiden rasialisme yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, dan Semarang. Unjuk rasa warga Papua juga terjadi bergiliran di beberapa kota, seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, Manado, dan Medan.
Namun, unjuk rasa di Sorong, Manokwari, Mimika, dan Jayapura pada Kamis (29/8) berujung pada aksi kerusuhan dan pembakaran puluhan aset dan gedung pemerintah serta bangunan pribadi. Demonstrasi di Distrik Deiyai, Papua, pada Rabu (28/8) berujung kerusuhan yang menimbulkan korban jiwa dari pihak perusuh dan pihak keamanan.
Sejak dua hari belakangan, kondisi di Papua mulai kondusif. Kantor-kantor pemerintahan sudah beroperasi, siswa-siswi juga sudah mulai bersekolah. Kendati demikian, menurut Menkominfo Rudiantara, pembatasan internet di Papua masih akan dibuka secara bertahap.
Penangkapan
Dari Jakarta, tersangka kerusuhan di Papua dan Papua Barat terus bertambah. Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, laporan terkini dari kepolisian di Papua dan Papua Barat, Kamis (5/9), menyebutkan angka tersangka kini berjumlah 78 orang. Jumlah tersangka itu bertambah dari Selasa (3/9) sebanyak 68 orang. “Untuk proses hukum di Papua dan Papua Barat, ada update penambahan tersangka,” kata dia, di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (5/9).
Saat ini kepolisian di Papua menetapkan tersangka sebanyak 57 orang terkait rangkaian kerusuhan yang terjadi di kota-kota utama provinsi itu. Tersangka paling banyak dari kerusuhan di Jayapura, yang terjadi pada Kamis (28/8). “Di Jayapura, ada 33 orang tersangka. Kemudian di Timika, ada 10 orang tersangka,” ujar Dedi. Penyelidikan insiden di Deiyai pun Polri menetapkan empat tersangka baru. “Di Deiyai, (semula 10 tersangka), menjadi 14 tersangka,” ujar dia.
Namun, kepolisian belum menetapkan satu pun tersangka terkait hilangnya nyawa warga sipil dalam rentetan gelombang anarkistis yang terjadi selama unjuk rasa protes warga di bumi cenderawasih. Alasan penyelidikan dan penyidikan disebut menjadi kendala untuk menetapkan tersangka terkait korban jiwa dari kalangan sipil.