Kamis 05 Sep 2019 13:00 WIB

Iuran BPJS Kesehatan Naik, Wali Kota Bandung: Kasihan, Berat

Dewan Kota Bandung juga meminta pemerintah pusat mempertimbangkan ulang kenaikan itu.

Rep: Zuli Istiqomah/ Red: Teguh Firmansyah
Wali Kota Bandung Oded M Danial
Foto: Republika/Edi Yusuf
Wali Kota Bandung Oded M Danial

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pemerintah telah resmi menaikkan tarif Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kebijakan ini pun menuai berbagai komentar terutama yang kontra dengan tegas menolak putusan tersebut.

Wali Kota Bandung Oded M Danial ikut memberikan tanggapannya atas kebijakan kenaikan tarif BPJS Kesehatan. Oded menyayangkan keputusan yang diambil pemerintah pusat itu.

Baca Juga

“Wali Kota mah hayangnya tong naik atuh (wali kota inginnya jangan naik lah). Karunya, beurat (kasihan berat),” kata Oded, Kamis (5/9).

Menurut Oded, seharusnya kesehatan menjadi layanan dasar yang harus dipenuhi pemerintah. Karena itu, seharusnya tidak ada kenaikan dari tarif jaminan sosial tersebut. Penolakan ini, kata dia, juga disampaikan oleh serikat pekerja.

Para buruh juga menolak keras naiknya tarif BPJS kesehatan yang dinilai memberatkan. Meski demikian, ia mengatakan kebijakan tersebut merupakan keputusan dari pemerintah pusat.

Pemerintah memiliki maksud dan tujuan tersendiri dengan menaikan tarif BPJS kesehatan untuk kelas 1 dan 2. “Ideal kita mah jangan naik. Tapi ini kebijakan pusat, pusat punya pertimbangan,” ujar Oded.

photo
Petugas melayani warga di Kantor Pelayanan BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Selasa (3/8/2019).

Ketua DPRD Sementara Kota Bandung Yudi Cahyadi juga meminta pemerintah mengkaji upang kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Permintaan ini berdasarkan serapan aspirasi dari masyarakat.

Yudi mengungkapkan, banyaknya penolakan masyarakat terkait rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Karenanya perlu dipertimbangkan kembali kenaikan iuran karena hal ini tentunya akan membebani jutaan masyarakat ekonomi lemah, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang lesu dan daya beli masyarakat yang semakin menurun.

"Jangan karena BPJS Kesehatan defisit, langsung membebankan kembali ke masyarakat dengan menaikan iuran,” kata Yudi dalam siaran persnya.

Menurut Yudi, pemerintah bisa mencari sumber anggaran lain untuk menutupi kondisi itu. Misalnya dengan melakukan realokasi anggaran dengan menambah anggaran subsidi dan mengurangi pos belanja lainnya. Bisa juga ditambah dengan upaya meningkatkan pendapatan dari sektor pajak kelas menengah-atas yang selama ini justru sering mendapatkan insentif pajak atau dengan skema anggaran lainnya.

Yudi cukup prihatin dengan kebijakan anggaran pemerintah pusat yang dengan mudahnya melakukan skema pinjaman utang luar negeri yang besarnya ratusan bahkan ribuan triliun untuk kepentingan infrastruktur yang kemanfaatannya hanya dinikmati sebagian masyarakat kelas menengah-atas.

Sementara untuk mencari anggaran sekitar Rp 39,5 triliun yang menjadi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat kecil yang berjumlah 223,3 Juta jiwa kepesertaan BPJS Kesehatan, pemerintah seolah malas berpikir dan berinovasi mencari sumber anggaran lain.

“Saya pilir pemerintah pusat harus meningkatkan sense of crisis (kepekaan) dan sense of responsibility (tanggung jawab) terhadap rakyatnya, sehingga tidak keliru dalam mengambil kebijakan,” ujarnya.

Sebelumnya, Tarif iuran bulanan BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri kelas I dan II diputuskan naik. Selain itu, iuran bulanan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang iurannya dibayarkan penuh pemerintah, juga naik.

Berdasarkan kesimpulan Rapat Kerja Gabungan Jaminan Kesehatan Nasional di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/9), iuran BPJS Kesehatan yang tidak naik hanya peserta mandiri yang merupakan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) serta Bukan Pekerja (BP) kelas III.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement