REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis, mengatakan urgensi pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur (Kaltim) tidak sangat mendesak jika dilihat dari sudut pandang pertahanan. Dia menilai, lokasi ibu kota di Jawa justru sejalan doktrin sistem pertahanan Republik Indonesia (RI).
"Selama doktrin pertahanan tidak berubah, tidak terlalu pengaruh soal pemindahan itu sehingga menurut tidak urgent pindah ibu kota (ke Kaltim). Justru yang paling baik adalah sekitar Bogor," ujar Beni ketika dikonfirmasi, Rabu (4/9).
Beni mengingatkan doktrin sistem pertahanan RI adalah perang semesta. Artinya, selain mengandalkan TNI juga mengandalkan rakyat sebgai komponen pendukung dalam sistem itu.
"Merujuk kepada doktrin itu, sulit jika ibu kota dipindahkan ke Kaltim, " tuturnya.
Sebab, lanjut dia, saat ini alat utama sistem persenjataan (alutsista) masih tersebar di Jawa. Sementara itu, calon lokasi ibu kota yang baru di Kaltim dekat dengan Laut Cina Selatan yang saat ini masih dalam kondisi konflik politik antara China, Vietnam, Malaysia dan Taiwan.
Ia menyarankan pemerintah untuk mempersiapkan berbagai hal jika realisasi pemindahan ibu kota nantinya terlaksana. Persiapan itu antara lain meliputi pendirian kantor dan kompleks militer, instalasi artileri udara dan instalasi squadron tempur yang disebutnya akan menelan biaya yang besar.
Sebelumnya, pakar geopolitik Hendrajit mengatakan pemerintah harus jeli melihat keamanan ibu kota negara yang baru, khususnya Pulau Kalimantan. Ini karena lokasinya terkepung di antara armada maritim Amerika Serikat (AS) dan China.
"Kalau ibu kota di Kalimantan, kita bisa menjadi bumper dari pertarungan global antara Amerika dan China di Asia Pasifik," ujar Hendrajit di Jakarta, Selasa (3/9).
Menurut dia, Inggris terutama Amerika Serikat (AS) lebih dahulu menguasai wilayah itu sebagai salah satu sphere of influence (wilayah pengaruh) sejak mereka menjajah negara-negara, seperti Malaysia, Brunei Darussalam (Inggris), dan Filipina (AS).