Rabu 04 Sep 2019 03:12 WIB

Pasal RKUHP Kriminalisasi Jurnalis dan Ancam Kebebasan Pers

Pakar menilai banyaknya celah untuk mempidanakan para jurnalis.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Dwi Murdaningsih
jurnalis di penjara (ilustrasi)
Foto: www.examiner.com
jurnalis di penjara (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang rencananya bakal disahkan DPR RI dalam waktu dekat masih menuai polemik. Pasal-pasal di RKUHP dinilai bakal mengkriminalisasi jurnalis dan mengancam kebebasan pers.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar menyebut banyaknya celah untuk mempidanakan para jurnalis. Misalnya, yang tertuang dalam Pasal 262 sampai 263 terkait penyebaran berita bohong, yang ternyata tak jauh berbeda dengan UU nomor 1 tahun 1946.

Dalam Pasal itu, berita bohong bisa pula didefinisakan sebagai penjabaran berita yang tidak lengkap, yang menimbulkan kekacauan di dalam masyarakat menimbulkan anarkisme di dalam masyarakat. Ketentuan pasal itu bersinggungan dengan kebebasan pers.

"Misalnya, ketika jurnalis wawancarai seorang ahli atau pendapat seseorang, namun tiba-tiba pendapat itu berubah, maka artikel berita tersebut bisa dianggap sebagai berita bohong," kata Fickar di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Selasa (3/9).

Pasal tersebut tidak menjelaskan siapa yang harus bertanggung jawab, dalam hal ini apakah jurnalis atau pada orang yang memberi pernyataan. "Jadi di pasal tentang berita bohong ada aspek Jurnalismenya, artinya sangat mungkin temen temen jurnalis bisa dipidanakan di situ," kata Fickar .

Fickar juga menyoroti pasal 281 soal contemp of court. Pasal itu menyebutkan, siapa yang tidak mematuhi perintah pengadilan, bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau tidak memihak hakim melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan, dapat di pidana.

"Itu justru akan mengkebiri kebebasan mengungkapkan pendapat dan sebagainya, ini harus dilihat karena bagaimanpun juga itu bersentuhan langsung dengan kegiatan Jurnalisme," ujar Fickar.

Kemudian, Fickar juga menyoroti pasal tentang rahasia negara. Ia menyebut, parameter rahasia negara tak jelas. Sehingga, bila suatu saat jurnalis mendapatkan suatu dokumen yang dianggap rahasia negara, jurnalis itu bisa dijerat pasal karet tersebut.

"Saya kira ini harus menjadi perhatian agar kedepan teman jurnalis bisa dijamin tidak diterapkan pasal-pasal ini," kata Fickar.

Fickar menambahkan, pasal penghinaan Presiden juga bakal menyerang para jurnalis. Jabatan Presiden, kata Fickar, adalah jabatan publik untuk dikritisi dan dikomentari. Ketika jurnalis mengkritisi suatu kebijakan presiden dan dianggap sebagai suatu penghinaan, lagi - lagi jurnalis tersebut akan dijerat pasal.

"Oleh karena itu menurut saya pasal mengenai penghinaan terhadap presiden ini dihapuskan dan masuk kepada pasal penghinaan biasa," kata Fickar.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan LBH Pers mencatat, setidaknya ada sepuluh pasal yang mengancam kebebasan pers. Pasal tersebut tersebut yakni Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa, Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong dan Pasal 263 tentang berita tidak pasti.

Selanjutnya Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan, Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama, Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, Pasal 440 tentang pencemaran nama baik serta Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.

"Dengan 10 hal itu sebenarnya pemerintah dan DPR ini tidak mendengarkan kritik publik selama ini terhadap KUHP sekarang dan yang ada menambah pasal baru mengancam kebebasan pers," kata Ketua Abdul Manan dalam keterangannya.

Sementara itu, Anggota Panitia Kerja Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Taufiqulhadi mengklaim, RKUHP tidak menekan kebebasan pers.

Ia mengklaim, RKUHP yang akan disahkan akan membuat demokrasi menjadi normal. Dalam negara yang demokrasinya sudah mapan, kata dia, ada keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara tanggung jawab sosial dan kepentingan pribadi, dan antara keadilan dan wewenang.

"Itu semua harus berimbang. Ketika berimbang, demokrasi akan berjalan. Namun, kalau salah satu unsur tidak ada maka tidak akan menjadi demokrasi yang sempurna, bahkan cenderung kacau dan tidak tertib," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement