Selasa 03 Sep 2019 11:41 WIB

Mencermati Dinamika Penduduk

Dinamika penduduk harus dicermati untuk menentukan strategi dalam pembangunan.

Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Foto: Republika/Dessy Suciati Saputri
Presiden Joko Widodo (Jokowi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Tasmilah, Statistisi pada BPS Kota Malang

Peringatan kemerdekaan kemarin, dirayakan oleh lebih dari 265 juta penduduk Indonesia. Setelah 74 tahun merdeka telah terjadi berbagai dinamika penduduk yang harus dicermati untuk menentukan strategi dalam pembangunan ekonomi.

Termasuk dalam pembangunan manusia sebagaimana yang menjadi fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. Dalam pembangunan manusia diperlukan satu data tentang sebaran, karakteristik, dan variabel kependudukan.

Ini untuk memastikan, upaya yang dilakukan tepat sasaran. Meski pemerintah memiliki satu data kependudukan berdasar NIK, kesadaran penduduk memutakhirkan data masih rendah. Saat migrasi, belum semua penduduk mengurus perpindahan alamat.

Demikian juga, dengan status perkawinan, kematian, agama, ataupun pekerjaan tidak semua dimutakhirkan. Padahal, variabel tersebut sangat penting dalam menentukan arah kebijakan terkait program kependudukan di Indonesia.

Migrasi merupakan salah satu faktor yang memengaruhi dinamika penduduk. Pola migrasi cenderung menuju daerah perkotaan mengakibatkan ketimpangan pembangunan antarwilayah dan antarperdesaan serta perkotaan.

Data kependudukan sebelum kemerdekaan diperoleh dari sensus yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda pada 1930 dengan jumlah sekitar 60,9 juta jiwa. Pascakemerdekaan sensus pertama kali pada 1961 dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 97,08 juta jiwa.

Pada masa tersebut, Indonesia menempati urutan kelima dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia setelah Cina (669 juta jiwa/hasil sensus 1958), India (438 juta jiwa /hasil sensus 1961), Uni Soviet (214,40 juta jiwa/hasil hasil sensus 1960), dan Amerika Serikat (182,49 juta jiwa/hasil sensus 1961).

Pada sensus pertama, sebanyak 64,95 persen penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Provinsi paling banyak penduduknya saat itu adalah Jawa Timur dengan jumlah penduduk 21,82 juta jiwa, lalu Jawa Tengah 18,41 juta jiwa, dan Jawa Barat 17,61 juta jiwa.

Penduduk DKI Jakarta saat itu 2,97 juta jiwa dengan kepadatan penduduk Jakarta 5.152 jiwa per kilometer persegi. Dalam enam periode sensus penduduk, persentase penduduk di Pulau Jawa turun dari 64 persen menjadi 57 persen pada sensus penduduk 2010.

Selain itu, Jawa Timur sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak digantikan Jawa Barat pada sensus penduduk 1990 dan terus bertahan hingga saat ini. Jawa Barat yang juga memegang rekor jumlah penduduk terbanyak tidak terlepas dari arus migrasi yang tinggi.

Jika sampai 2000, DKI Jakarta masih menduduki rekor terbanyak jumlah migrasi masuknya, mulai 2005 jumlah migran masuk paling tinggi terjadi di Jawa Barat.

Berdasarkan sensus penduduk 2010, migrasi seumur hidup yang masuk ke DKI Jakarta 4,07 juta jiwa dan ke Jawa Barat 5,22 juta jiwa. Sedangkan untuk provinsi lain, migrasi seumur hidup yang masuk berkisar 60 ribu hingga 2 juta jiwa.

Jika puluhan tahun sebelumnya hanya DKI Jakarta yang migrasi netto (migrasi masuk dikurangi migrasi keluar)-nya positif, mulai hasil sensus penduduk 1990 menunjukkan migrasi netto di Jawa Barat menyusul positif, yaitu 656.747 jiwa. Sejak itu, migrasi netto di DKI Jakarta terus menurun, sedangkan migrasi netto di Jawa barat meningkat dan menduduki posisi tertinggi di Indonesia. Pun ketika terjadi pemekaran Provinsi Banten, migrasi netto di Jawa Barat dan Banten melebihi DKI Jakarta.

Perekonomian DKI Jakarta dan kota penyangganya, seperti Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang menjadi magnet bagi penduduk untuk bermigrasi. Sejak 1970-an, sumbangan perekonomian dalam pembentukan PDB relatif tetap dihasilkan daerah-daerah yang sama.

Jawa merupakan daerah perekonomian utama dengan sumbangan yang terbesar mencapai lebih dari 58 persen (BPS,2018). Ini berarti, era otonomi daerah tidak menggeser dominasi Pulau Jawa dalam perekonomian nasional.

Begitu juga, dengan DKI Jakarta yang menempati urutan tertinggi dalam perannya membentuk PDB nasional (17,34 persen). Sementara itu, Pulau Sumatra sumbangannya berkisar 23 persen; Kalimantan 8,2 persen; sedangkan Sulawesi dan Indonesia Timur selebihnya dalam kurun waktu itu stabil dengan sumbangan yang kurang dari lima persen.

Situasi di atas menunjukkan, pemusatan aktivitas ekonomi sejak 1970-an tidak banyak berubah. Keadaan ini juga berjalan seiring dinamika demografi, tujuan utama migrasi di adalah provinsi yang menawarkan kesempatan bagi perbaikan keadaan sosial-ekonomi.

Jakarta tetap merupakan kota migran utama atau inti, tetapi yang juga perlu diperhatikan adalah meningkatnya peran wilayah di sekitar Jakarta. Meski melakukan aktivitas ekonomi di Jakarta, para migran ini lebih banyak tinggal di kota-kota sekitar Jakarta meliputi Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Pertumbuhan penduduk di kota-kota tersebut selalu tinggi yang disebabkan migrasi masuk penduduk.

Kondisi demikian mengakibatkan beban berat bagi Jakarta beserta kota-kota penyangga sehingga diperlukan pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Rencana pemindahan ibu kota negara Indonesia ke luar Jawa (Kalimantan Timur) merupakan salah satu cara memeratakan pertumbuhan ekonomi dan penduduk di Indonesia. Dalam kaitan itu, percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah yang telah berjalan selama ini harus terus ditingkatkan, terutama di luar Pulau Jawa. Di sisi lain, pembangunan perdesaan harus terus didorong melalui pemanfaatan dana desa.

Di antaranya, pengembangan industri pascapanen, terutama bagi kawasan berbasis pertanian dan kelautan; peningkatan kapasitas SDM di perdesaan khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDA melalui ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan arus migrasi dari perdesaan ke perkotaan. Berdasarkan analisis migran oleh BPS pada 2017, kecenderungan laki-laki bermigrasi semakin meningkat menjadi 52,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 50,73 persen.

Demikian juga, diperinci menurut kelompok umur, sebagian besar migran berada pada kelompok umur 20-29 tahun, yaitu 36,7 persen. Sedangkan dari pendidikan yang ditamatkan, sebagian besar migran (43,4 persen) berpendidikan SMA/sederajat ke atas. Jika itu terus dibiarkan, perdesaan/daerah akan semakin kehilangan SDM produktifnya. Karena itu, dinamika penduduk ini perlu dicermati guna merumuskan rencana pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia yang unggul dan maju.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement