Selasa 20 Aug 2019 11:52 WIB

Ada Udang di Balik Gedung Kura-Kura

Amandemen UUD 1945 bisa melemahkan kekuasaan presiden dan sistem presidensial.

Andri Saubani
Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andri Saubani*

Sebagai partai pemenang pemilu, PDI Perjuangan (PDIP) kini memiliki peran sentral dalam menentukan konstelasi politik tingkat elite, khususnya di parlemen. Dua pucuk pimpinan parlemen yakni DPR dan MPR bisa saja direbut PDIP, tetapi partai berlambang kepala banteng moncong putih itu sepertinya akan membagi kekuasaan parlemen demi tujuan politik yang lebih besar.

Baca Juga

Kursi ketua DPR periode 2019-2024 sudah pasti menjadi jatah PDIP, sementara kursi ketua MPR akan ‘dilepas’ oleh PDIP dengan barter dukungan terhadap amendemen UUD 1945. Setelah amendemen terakhir atau yang keempat terjadi pada 2002 silam, dasar negara Indonesia itu semakin dekat menemukan momentumnya untuk kembali dibongkar.

Untuk meneguhkan keseriusannya, upaya mengamendemen UUD 1945 sampai disahkan menjadi keputusan Kongres V PDIP di Bali dua pekan lalu. Perlunya negara ini memiliki haluan negara sebagai pedoman arah bagi presiden memimpin, menjadi dasar PDIP mengajukan usulan amendemen UUD 1945. Untuk menghilangkan citra kembali ke masa Orde Baru, PDIP pun menolak istilah Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pertanyaannya, apakah haluan negara memang diperlukan oleh presiden zaman now?

GBHN, haluan negara atau apa pun namanya bisa dibilang tidak relevan dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia saat ini. Karena secara filosofis, GBHN adalah mandat MPR kepada presiden lantaran dahulu presiden dipilih oleh MPR bukan dipilih langsung oleh rakyat.

Dalam sejarahnya, terdapat konsekuensi serius bagi presiden pada masa lalu jika tidak mematuhi GBHN. Presiden bisa dimakzulkan MPR di tengah jalan seperti yang terjadi pada Presiden Soekarno yang dijatuhkan oleh MPRS pada 1967 dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang dimakzulkan oleh MPR pada 2001.

Lantas, jika PDIP dan koleganya di parlemen ingin menghidupkan kembali GBHN, konsekuensi apa yang akan diterima seorang presiden, misalnya Jokowi dalam pemerintahan periode keduanya ternyata dinilai oleh MPR ke luar dari jalur haluan negara? Apa pun konsekuensi yang kemudian diterima Jokowi berupa sanksi dari MPR, bukankah itu artinya MPR kembali menjadi lembaga superior di dalam sistem presidensial?

Jika GBHN kembali diaktifkan, presiden republik ini ke depannya menjadi wajib  bertantanggung jawab kepada MPR. Jika MPR menilai presiden melanggar GBHN maka Presiden telah melanggar konstitusi dan kemungkinan bisa dimakzulkan, sehingga lemahlah sistem presidensial negara ini. Dalam pandangan yang ekstrem, upaya pengembalian GBHN memiliki motif mengubah sistem ketatanegaraan dari presidensial menjadi parlementer.

Meskipun Indonesia tidak memiliki GBHN, toh sejak 2005 negara ini telah memiliki Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan. Sistem itu disusun untuk periode pembangunan selama 20 tahun yang dikenal dengan istilah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP Nasional).

RPJP Nasional untuk 2005 sampai dengan 2025 diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007. Pelaksanaan RPJP Nasional 2005-2025 terbagi dalam tahap-tahap perencanaan pembangunan dalam periodisasi perencanaan pembangunan jangka menengah nasional 5 (lima) tahunan.

Partai-partai lain di parlemen pun sepertinya akan masuk ke dalam ‘perangkap’ PDIP. Partai yang selama ini tergabung dalam pendukung koalisi Jokowi-Ma’ruf sudah pasti akan ikut menyetujui UUD 1945 diamandemen jika ingin kebagian kursi pimpinan di DPR atau MPR lantaran komposisi pimpinan parlemen ditentukan dengan sistem paket.

Pimpinan fraksi di DPR saat ini pun sebagian besar sudah senada dengan PDIP dengan menyebut negara ini membutuhkan haluan yang mirip dengan GBHN. Partai-partai yang menjadi lawan PDIP di Pemilu 2019 pun tidak ada yang kontra atas usulan amandemen terbatas UUD 1945. Dan, siapa yang bisa menjamin, amendemen terbatas kemudian tidak menjadi melebar ke mana-mana termasuk ke pasal pemilihan presiden, jika merujuk pada kebiasaan DPR selama ini dalam merevisi suatu undang-undang.

Pun sikap Gerindra, sebagai rival utama PDIP di pemilu lalu. Sebagai partai terbesar kedua di parlemen, Gerindra seperti pernah ditegaskan oleh Prabowo Subianto, tidak hanya setuju pada usulan amandemen terbatas UUD 1945, tetapi menginginkan konstitusi negara ini kembali ke naskah UUD 1945 yang asli. Kalau maunya Gerindra seperti itu, bukankah apa yang sedang diperjuangkan para elite di parlemen saat ini malah adalah suatu kemunduran?

Amandemen terhadap konstitusi memang bukan hal tabu yang tidak boleh dilakukan. Tetapi, yang utama adalah elite politik mestinya melangkah dengan dasar apakah perubahan itu bermanfaat untuk rakyat atau tidak.

*penulis adalah jurnalis Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement