Senin 02 Sep 2019 13:04 WIB

10 Capim KPK, Bola Ada di Presiden

Meloloskan capim yang punya reputasi buruk dinilai akan menjadi beban bagi presiden

Rep: Bambang Noroyono, Haura Hafizhah / Red: Karta Raharja Ucu
Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  memberikan keterangan pers terkait seleksi Capim KPK di Kementerian Sekertariat Negara, Kamis (29/8).
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih (dua kiri) didampingi anggota pansel bersiap memimpin tes wawancara dan uji publik Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) periode 2019-2023 di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (27/8).

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Oce Madril menyarankan, agar Presiden Jokowi benar-benar mendengarkan aspirasi publik yang selama ini memberikan kritik dan masukan. Sebab, mengirimkan 10 nama capim KPK ke proses politik di DPR bukan sekadar formalitas prosedur, melainkan juga sekaligus ujian komitmen Presiden Jokowi dalam pemberantasan korupsi.

Menurut Oce, meloloskan nama capim yang selama ini dianggap punya reputasi buruk dalam perang melawan korupsi, akan menjadi beban serius bagi presiden sendiri. "Kita sekarang harapannya ada di Presiden Jokowi. Mudah-mudahan Presiden Jokowi mendengarkan aspirasi, ataupun apa yang selama ini menjadi kritik terhadap Pansel KPK," kata dia.

Oce mengatakan, presiden masih pu nya waktu 14 hari melakukan reviewterhadap 10 nama capim hasil kerja Pansel KPK, sebelum menye rahkannya kepada DPR untuk disetujui menjadi komisioner KPK. Menjadi kewajiban bagi presiden untuk menyerah kan nama-nama capim yang tidak punya masalah hukum dan integritas sebelum disetujui oleh DPR. Sebab itu, Oce berharap tahapan terakhir seleksi capim KPK di ranah eksekutif, benar- benar menghasilkan nama-nama yang sesuai harapan publik.

Buruk Di Jakarta, desakan agar Presiden Jokowi mengevaluasi ulang hasil kerja Pansel KPK, pun disuarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Darurat KPK. Pada Ahad (1/9), koalisi gabungan penga wal proses capim KPK itu kembali mendesak agar Presiden Jokowi mencoret nama hasil penyaringan Pansel KPK yang selama ini dianggap melang gar proses etik sebagai capim KPK. Peneliti Transparancy Internasional Indonesia (TII) Agus Sarwono menjelaskan sejumlah kriteria pelanggaran etik itu.

Seperti pelanggaran etik para capim dari kalangan penyelenggara, tapi tak taat dalam pelaporan harta kekayaan. Pun juga sejumlah capim dari kalangan penegak hukum, tapi tak punya komitmen dan integritas dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air. Juga, sejumlah capim yang disinyalir sengaja diloloskan Pansel KPK, tapi punya tabiat menggembosi independensi lembaga pemburu para koruptor itu sendiri.

"Kita (koalisi) inginnya, Presiden Jokowi berani mengambil sikap, mencoret nama-nama yang selama ini punya reputasi menghambat pemberantasan korupsi," kata Agus.

Agus, bersama pegiat antikorupsi dari ICW, LBH Jakarta, YLBHI, Kontras, bahkan Amnesty Internasional, sejak awal proses seleksi capim, sudah mengingatkan kepada Pansel KPK agar tak meloloskan nama-nama yang memiliki rekam jejak buruk dalam pemberantasan korupsi. Sebab, rekam jejak capim penting agar independensi memberantas korupsi tetap terjaga.

Menurut dia, 20 nama kandidat yang mengikuti hingga proses uji publik, sebagian di antaranya disinyalir memiliki rekam jejak yang buruk. Dia menyebut, masih terdapat kandidat yang diduga bermasalah dan diragukan integritasnya yang tidak melapor kan harta kekayaan, terbukti melanggar etik dan kerap menghambat penuntasan kasus korupsi. Adanya indikasi kuat anggota Panitia Seleksi (Pansel) yang memiliki konflik kepentingan dengan kandidat juga menciptakan bahaya bagi independensi KPK.

"Pak Presiden harus berani mengambil sikap untuk menentukan capim KPK yang benar-benar kualitas," katanya.

Kemudian, kata dia, pimpinan KPK harus bersih dan berani untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi yang besar. Jangan sampai ada kasus yang terlewati. Namun, saat ini ada upaya yang terlihat untuk menggerus kelemba gaan KPK dari dalam, yaitu dengan sebutan Cicak vs Buaya 4.0. Hal itu, kata Agus, terlihat sejak proses penunjukan anggota Pansel yang kemudian diikuti dengan proses seleksi.

Agus menilai, langkah Pansel yang akan langsung menyerahkan 10 kandidat ke Presiden juga telah menutup kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan verifikasi. Padahal, kata dia, Undang-Undang (UU) KPK dan Kep pres pembentukan Pansel mensyaratkan Pansel untuk mendengarkan masyarakat.

"Di sisi lain, laporan pidana terhadap Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo, dan Ketua Umum YLBHI Asfinawati, semakin menguatkan adanya serangan balik dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengamankan Pansel dan beberapa kandidat dari kritik masyarakat sipil dan publik," kata dia.

Koalisi juga mendesak Presiden perlu menyaring ulang calon pemimpin hasil Pansel dengan mempertimbangkan rekam jejak kandidat. Kemudian, mengoreksi hasil kinerja Pansel yang mengabaikan masukan mengenai data rekam jejak kandidat, baik dari masyarakat maupun lembaga negara lain, seperti KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement