REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- Sejumlah pihak mengkhawatirkan potensi konflik horizontal di Jayapura selepas aksi unjuk rasa menolak rasialisme yang berujung pembakaran dan perusakan fasilitas publik dan tempat-tempat usaha, Kamis (29/8). Mereka meminta semua pihak menahan diri agar kondisi tak bertambah runyam.
“Saya kira semua orang harus menahan diri karena mulai ada upaya-upaya pengalihan dari tuntutan proses hukum atas rasialisme di Surabaya,” kata Ketua Sinode Gereja Kingmi, Benny Giay, kepada Republika, kemarin.
Ia memahami, aksi anarkistis pada Kamis (29/8) mengganggu kegiatan warga Jayapura, termasuk para pendatang di wilayah itu. Kendati demikian, ia meminta permakluman bahwa aksi tersebut sangat mungkin ditunggangi para provokator dan tak menggambarkan sikap sebenarnya warga Jayapura terhadap pendatang.
Benny Giay juga menilai, pemblokiran internet dan pembatasan telekomunikasi di Jayapura membuat pihak-pihak terkait kesulitan membuat tenang suasana. “Saya mau SMS suruh tenang tidak bisa. Bensin juga habis tidak bisa beli. Saya kira ini juga pemulihan komunikasi penting supaya kami bisa saling bicara dan mendamaikan situasi,” ujar dia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua juga mengajak umat Islam di Tanah Papua menjaga keamanan dan ketertiban. “Jangan terprovokasi agar daerah Papua selalu aman," kata Ketua MUI Papua Syaiful Islam Alpayagi saat dihubungi Republika, Jumat (30/8).
Syaiful juga meminta seluruh umat Islam di Papua mengedepankan dialog. "Untuk itu, jangan lagi ada balas dendam atau aksi balasan. Kepada umat Islam, MUI meminta serahkan saja masalah ini pada proses hukum," katanya.
Ia juga meminta TNI dan Polri untuk tak melakukan tindakan-tindakan yang membuat masyarakat di Tanah Papua semakin reaktif. Keberadaan TNI dan Polri harus mampu mendinginkan suasana Papua yang saat ini sedang dikuasai api permusuhan. \"Jangan sampai kehadiran polisi di tanah Papua itu malah menimbulkan persoalan baru. Itu harapan dari MUI Papua," ujar dia.
Bentrok warga nyaris terjadi di Ibu Kota Papua, Jayapura, Jumat (30/8) pagi. Kendati demikian, aparat keamanan berhasil mencegah dua kelompok tandingan saling bertemu.
Hingga Jumat pagi, seribuan massa peserta aksi dari Waena, Sentani, dan Abepura masih berkumpul di Kantor Gubernur Papua di Dok 2 Jayapura. Para peserta aksi tersebut sudah menduduki Kantor Gubernur Papua sejak Kamis (29/8) malam.
Sementara pada saat bersamaan, ratusan warga dari wilayah Entrop dan Pasar Hamadi sudah berkumpul. Massa ini kebanyakan pemilik toko dan kios yang dibakar dalam kerusuhan di Jayapura pada Kamis (29/8) dan menamakan diri Paguyuban Nusantara. Sejak pagi, ratusan warga tersebut sudah mulai bergerak ke arah Kantor Gubernur Papua.
Kendati demikian, aparat keamanan menahan laju massa tersebut di salah satu perempatan di Dok 1, Jayapura. "Mereka ditahan dekat rumah sakit, di lampu merah. Kalau tidak, itu bahaya sekali," kata Frengki Warer, salah seorang warga Jayapura yang menyaksikan kejadian tersebut.
Menyusul pergerakan massa itu, TNI-Polri melakukan evakuasi dan mengantar pulang sekitar seribu orang dari Kantor Gubernur Papua pada Kamis (29/8) malam. Kapendam XVII/Cenderawasih Letkol CPL Eko Daryanto dalam keterangan tertulisnya mengatakan, pengerahan truk TNI/Polri yang dimulai sejak pukul 09.15 WIT adalah upaya mengantisipasi bentrok antara massa aksi demo yang merasa ketakutan akan adanya aksi balasan.
Upaya selanjutnya, kata Eko, Kodam XVII/Cenderawasih mengimbau terhadap masyarakat paguyuban Nusantara untuk menghentikan aksi penyisiran terhadap peserta aksi pada Kamis (29/8).
"Kita akan meningkatkan pengamananan terhadap objek-objek vital dan mem-back-up Polda Papua dalam rangka pengamanan aksi-aksi demo di lapangan," ujarnya seperti dilansir Antara.
Pada Jumat pagi, tak ada lagi pembakaran dan perusakan fasilitas umum. Kendati demikian, suasana masih sepi karena kebanyakan warga tak berani keluar rumah. Terlebih, beredar info penyisiran yang dilakukan oknum-oknum tertentu. Menurut Benny Giay, penyisiran itu sempat menimpa tujuh warga Jayapura. Warga yang sempat disandera itu kemudian diamankan kepolisian setempat.
Merujuk Sensus Kependudukan BPS pada 2010, Kota Jayapura adalah satu dari lima wilayah di Papua dengan perimbangan penduduk asli Papua dan pendatang yang relatif berimbang. Wilayah lainnya adalah Merauke, Nabire, Mimika, dan Keerom.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud menyerukan kepada kepada seluruh masyarakat yang tinggal di Papua untuk mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan kasus yang ada sehingga tidak terjadi konflik horizontal. "Lebih baik cari jalan yang baik, yang damai. Kalau ada masalah, apa-apa duduk bersama dan kedepankan musyawarah," ujar Kiai Marsudi kepada Republika, Jumat (30/8).
Ia mengatakan, PBNU turut prihatin atas adanya kerusuhan di Papua. Dia berharap kejadian yang dipicu kasus rasialisme itu menjadi bahan introspeksi bersama. "Mudah-mudahan jadi introspeksi, bahan muhasabah dari kita masing-masing, dan kami harapkan untuk tetap tenang," ucapnya.
Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom mengingatkan, tindakan kekerasan dan kerusuhan yang dibuat oleh beberapa orang di Papua merupakan provokasi dan banyak kepentingan di baliknya. "Bagaimanapun pendatang jangan dibenturkan dengan pribumi (Papua), ini buat Papua tidak baik, pendatang dan pribumi harus sama-sama mengatasi masalah ini, jangan pendatang dan pribumi dihadap-hadapkan," ujarnya.
Kepada pemerintah, dalam hal ini kepolisian, PGI mengingatkan agar bisa menahan diri. Sebab, semakin polisi bertindak represif, justru akan semakin membuat masyarakat pribumi Papua semakin keras. “Mengimbau gereja-gereja di Papua khususnya, pemerintah untuk meneduhkan umat, bila perlu jangan keluar dulu dalam beberapa hari ini supaya kondisi lebih kondusif," kata Pendeta Gomar.