REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Nawir Arsyad
DPR periode 2014-2019 percaya diri dapat menyelesaikan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebelum masa kerja mereka berakhir bulan depan. Wakil Ketua Komisi III DPR Herman Hery menjadi salah satu yang yakin.
"Kami bekerja secara profesional, biar saja bergulir, dan target pencapaian penyelesaian UU memang sudah jadi target kami di Komisi III di masa bakti sekarang," ujar Herman saat dikonfirmasi, Kamis (29/8).
Namun, sejumlah pasal krusial dikatakannya tak bisa diselesaikan oleh anggota dewan pada periode ini. Dan, kemungkinan besar akan dilanjutkan oleh DPR periode 2019-2024.
"Jika nanti belum bisa selesai karena ada yang krusial, ya tentu tidak kami teruskan," ujar Herman.
Ia pun menegaskan, Komisi III tidak dapat diintervensi untuk mempercepat penyelesaian sebuah undang-undang. Karena, pihaknya tetap bekerja secara profesional, untuk menyelesaikan RKUHP pada periode ini.
"Tidak ada yang didorong untuk mempercepat prosesnya, semua berjalan profesional sesuai dengan proses," tegas Herman.
Legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, Komisi III mendengar setiap masukan dari masyarakat. Tetapi, keputusan tergantung pada suara mayoritas di DPR.
"Sebuah keputusan politik, terkait UU atau apa pun tergantung suara mayoritas dalam DPR ini, kalau mayoritas katakan selesai, ya, selesai. Tidak ada pihak yang mempercepat atau memperlambat," ujar Herman.
Sebelumnya, anggota panitia kerja (Panja) RKUHP Arsul Sani menekankan bahwa RKUHP masih menyisakan beberapa isu krusial. Salah satunya adalah pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Arsul menyebut, bahwa Panja tak akan menghapus pasal penghinaan presiden. Namun, akan memperbaiki substansi dan rumusan redaksional pasal tersebut.
Draf terakhir RKUHP memang tetap mempertahankan pasal penghinaan presiden dan Wakil Presiden. Namun, penghinaan presiden dan wakil presiden berupa delik aduan yang dilakukan langsung oleh presiden dan wakil presiden.
Penghinaan presiden dan wakil presiden sendiri diatur dalam Pasal 218 dan 219. Pasal 218 ayat 1 menyebutkan, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Sedangkan, Pasal 218 ayat dua menyebut, "Suatu perbuatan tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."
Sedangkan di Pasal 219, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Keharusan delik aduan dalam pidana penghinaan presiden disyaratkan dalam Pasal 220. Ayat satu pasal tersebut berbunyi, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
"Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh kuasa Presiden atau Wakil Presiden," demikian bunyi ayat dua Pasal 220.
Arsul menyatakan, pasal itu tetap dipertahankan dengan memperhatikan masukan berbagai pihak. Pasal itu sempat menimbulkan polemik lantaran dianggap mengancam demokrasi. Lebih lagi, pasal penghinaan presiden pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006.
"Akhirnya, jalan tengahnya, DPR dan pemerintah sepakat bahwa kita tidak boleh menabrak putusan MK. Jadi tetap diatur bahwa itu harus delik aduan," kata Arsul.
Anggota Komisi III DPR RI itu juga menyebut, penghinaan untuk presiden hukumannya lebih tinggi daripada pasal penghinaan terhadap orang biasa. Mengingat, presiden adalah representasi langsung pilihan rakyat Indonesia.
Untuk diketahui, MK membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden lewat putusannya pada 2006. Pasal itu dinilai majelis hakim MK bertentangan dengan semangat demokrasi. Ketua MK Jimly Asshiddiqie kala itu menyebut pencabutan pasal penghinaan presiden/wakil presiden dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 karena tidak sesuai dengan peradaban demokrasi.
Putusan MK itu atas permohonan yang diajukan Eggy Sudjana. Kala itu, Eggy dililit kasus penghinaan presiden karena menyebut Presiden SBY menerima sejumlah gratifikasi. MK kemudian mengabulkan permohonan itu.
Warisan kolonial Belanda
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menjadi salah satu pihak yang telah lama menyuarakan tuntuan agar pasal penghinaan presiden di RKUHP dihapus. Frasa "penghinaan presiden” berganti terminologi menjadi “Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden."
"Hal ini jelas merupakan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia, dan perumus RKUHP belum sepenuhnya paham konsep reformasi hukum pidana di Indonesia," ujar Direktur Eksekutif ICJR Anggara, dalam keterangan yang dibagikan ke Republika, Kamis (29/8).
Pasal itu dinilai sama dengan konsep kejahatan yang sempat ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden. Pasal itu merupakan warisan kolonial Belanda, yang pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, melalui UU Nomor 1 Tahun 1946, Pemerintah Indonesia mengganti pasal penghinaan Raja atau Ratu Belanda dengan Presiden atau Wakil Presiden Indonesia. Menurut Anggara, bila esensinya menghilangkan kolonialisme, harusnya pasal itu dihilangkan.
Anggara menegaskan, presiden dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia. Maka presiden harus bisa dikritik oleh setiap warga negara, sehingga tidak dapat dipisahkan perannya sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan.
"Berdasarkan hal itu maka pembaharuan KUHP warisan kolonial juga seharusnya tidak lagi memuat pasal-pasal serupa," kata Anggara.
ICJR juga menekankan, pasal penghinaan presiden tidak relevan untuk negara demokratis. MK dalam putusan 013-022/PUU-IV/2006 menyatakan, sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat pasal penghinaan presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
"Pemerintah dan DPR tidak pernah punya alasan kuat harus menghidupkan pasal penghinaan presiden," ujar dia.