Sabtu 24 Aug 2019 23:00 WIB

Menjamin Hak Anak Peroleh ASI di Lokasi Bencana

Minimnya dukungan dan kondisi pengungsian menghalangi pemberian ASI eksklusif.

Rep: Antara/ Red: Friska Yolanda
Cantika, satu dari empat bayi yang kahir di tenda pengungsian di Desa Gelangsar, Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat, NTB.
Foto: Pemkab Lombok Barat
Cantika, satu dari empat bayi yang kahir di tenda pengungsian di Desa Gelangsar, Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat, NTB.

REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Anak yang belum lama lahir berhak memperoleh air susu ibu (ASI) eksklusif. Namun, dalam situasi darurat bencana hingga pascabencana, banyak faktor yang membuat hak si bayi terhadap ASI terpaksa terkendala. Banyak faktor yang membuat ibu harus beralih, sehingga terpaksa memberikan susu formula kepada anak.

Selain minimnya dukungan ayah si bayi dan keluarga, lingkungan hunian juga seringkali tidak berpihak pada gender. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyatakan naungan pengungsian, termasuk hunian sementara, bila tidak ramah perempuan dan anak, menjadi salah satu faktor penghalang anak-anak memperoleh ASI eksklusif.

Baca Juga

Dalam situasi darurat dan pascabencana, ibu yang sedang menyusui biasanya mengalami trauma secara psikis sehingga memengaruhi produksi ASI-nya.

"Selain itu, kondisi di tempat pengungsian yang tidak ramah terhadap perempuan dan anak juga memperparah kondisi tersebut," ucap Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil, Informasi, dan Partisipasi Anak KPPPA Lies Rosdianty, belum lama ini.

Lies Rosdianty menyatakan adanya pemberian susu formula berbagai merek kepada masyarakat dalam situasi darurat dan pascabencana menjadi faktor penunjang anak tidak memperoleh ASI. Pemberian bantuan susu formula membuat ibu akhirnya memilih yang lebih nyaman yaitu memberikan susu formula kepada bayinya. Akhirnya pemberian ASI eksklusif bagi bayi yang belum berumur enam bulan menjadi tidak terpenuhi.

Kondisi itu, kata dia, harus ditanggapi secara serius oleh pemerintah dengan menyediakan tempat pengungsian yang ramah perempuan dan anak. Ia mengatakan, soal ini seharusnya menjadi perhatian semua pihak, yaitu dengan mengakomodasi kebutuhan spesifik perempuan dan anak, antara lain dengan menyediakan ruangan khusus untuk menyusui di naungan pengungsian.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, proporsi Inisiasi Menyusu Dini (IMD) pada bayi dan anak usia 0-23 bulan di Sulteng, sekitar 60 persen, dan ASI eksklusif pada bayi usia 0-5 bulan sekitar 48 persen. Data ini menunjukkan masih perlu dilakukannya upaya untuk mendukung praktik menyusui di Sulteng.

Hasil penelitian praktik pemberian ASI eksklusif dan meneruskan menyusui hingga satu tahun, dapat menurunkan angka kematian balita hingga 13 persen.

Hasil penelitian juga menyebutkan, angka kematian balita masih bisa di turunkan hingga enam persen dengan memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, dan memadai.

Berdasarkan data BPS hasil Susenas 2017, sekitar 94,56 persen anak usia di bawah dua tahun pernah diberi ASI. Artinya masih ada sekitar 5,44 persen anak usia di bawah dua tahun yang tidak pernah diberi ASI, sedangkan anak usia dua tahun yang masih diberi ASI 83,53 persen.

Lebih parah lagi, ujar dia, dalam situasi darurat bencana dan pascabencana, sering hak anak memperoleh ASI eksklusif dikesampingkan. Padahal, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Putusan itu mengacu pada Konvensi Hak-hak Anak yang telah disahkan PBB (Convention On The Rights of The Child) untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan menegakkan hak anak di seluruh dunia pada 20 November 1989.

ASI Eksklusif

ASI eksklusif berperan penting dalam tumbuh kembang anak. Lembaga Kemanusiaan Wahana Visi Indonesia (WVI) menyebut ASI eksklusif atau memberikan ASI saja selama enam bulan kepada anak, sama halnya dengan memberikan harapan hidup lebih panjang bagi anak.

Ia menyebut dalam situasi bencana, bayi yang diberikan susu formula akan lebih rentan sakit diare. Bahkan, pemberian susu formula berisiko bayi meninggal karena minimnya ketersediaan air bersih, serta alat pengolahan yang terbatas.

"Karena itu memberikan ASI saja sejak anak lahir termasuk bagian dari pengurangan risiko apabila bencana terjadi. Selain itu tentunya memperkuat relasi ibu dengan bayinya," kata kata General Manager WVI Wilayah Sulawesi dan Maluku Radika Pinto.

Wahana Visi Indonesia mendukung upaya pemberian ASI Ekslusif, bahkan sejak awal kelahiran melalui promosi IMD (Inisiasi Menyusu Dini) kepada petugas kesehatan.

Pelatihan kepada kader posyandu juga dilakukan agar ASI eksklusif bisa berhasil dan tuntas termonitor, dan pada akhirnya upaya untuk mengurangi kekerdilan (stunting) juga dapat tercapai.

Save The Children atau Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC) mengatakan untuk menunjang upaya keberhasilan ibu menyusui atau pemberian ASI eksklusif, dibutuhkan peran dan komitmen bersama antara ayah, keluarga besar, tenaga kesehatan, serta keberpihakan semua pihak.

Manager Communication and Advocacy Save The Children Wilayah Sulawesi Tengah, Dewi Sri Sumanah mengemukakan, keberhasilan ibu dalam menyusui adalah bentuk upaya pengasuhan terhadap anak yang berkelanjutan. Menyusui, lanjut dia, merupakan sikap kemanusiaan untuk menyelamatkan kehidupan.

Pentingnya ASI eksklusif, juga disuarakan oleh Kepala DP3A Sulteng Ihsan Basir. Ihsan mengemukakan pemberian ASI eksklusif sangat penting karena memiliki berbagai manfaat bagi sang bayi maupun ibu.

"Manfaat ASI eksklusif bagi bayi antara lain dapat menurunkan risiko terkena berbagai penyakit infeksi seperti diare, infeksi telinga, infeksi saluran pernafasan bawah, alergi, radang selaput otak, leukemia, dan lain-lain. Hal ini akan menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi dan balita. Selain itu, dapat menurunkan risiko obesitas pada anak, dan meningkatkan kecerdasan," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement