Sabtu 24 Aug 2019 07:38 WIB

Deddy Mizwar Kembali Diperiksa KPK

KPK tengah menelisik peran dari pihak lain yang ikut menikmati suap.

Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar bersiap melanjutkan pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (23/8).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar bersiap melanjutkan pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (23/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa mantan Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, sebagai saksi kasus suap proyek Meikarta pada Jumat (23/8). Deddy diperiksa untuk tersangka Iwa Karniwa (IWK), Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat.

Seusai menjalani pemeriksaan, Deddy mengaku pemeriksaannya tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Dalam kasus ini, Deddy juga pernah dimintai keterangannya untuk mantan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan lainnya.

"Jadi, intinya adalah memperdalam BAP (berita acara pemeriksaan) saya yang pertama dengan tersangka bupati dan kawan-kawan. Kali ini dengan tersangka pak Iwa," kata Deddy di Gedung KPK Jakarta, Jumat (23/8).

Penyidik, kata Deddy, juga masih mendalami hasil rapat di Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Jawa Barat. "Jadi, ada keputusan-keputusan BKPRD yang dikaji kembali, ditanyakan kem bali dan beberapa surat yang saya juga baru tahu ya, konfirmasi tentang hal- hal tersebut," kata Deddy.

Deddy juga mengakui rancangan peraturan daerah (Raperda) tata ruang dari Pemkab Bekasi untuk proyek pembangunan Meikarta bermasalah. Meski demikian, Meikarta sudah mengantongi izin pembangunan di atas lahan seluas 84,6 hektare.

"Kan sudah selesai (proses perizinannya). Yang 84,6 hektare sudah selesai, dan itu hak mereka. Yang jadi persoalan kan Raperda. Raperda perubahan tata ruang," kata Deddy. Diketahui, Raperda perubahan itu akhirnya membuat pengembang Meikarta bisa membangun di lahan lebih dari 500 hektare.

KPK sendiri sejauh ini tengah menelisik peran dari pihak lain yang ikut menikmati suap Mega Proyek milik Lippo Group tersebut. Berdasarkan temuan baru dan sejumlah fakta persidangan yang menyatakan terdapat unsur legislator yang ikut bermain dalam proyek ini.

"Dari fakta-fakta yang ada, kami duga masih ada pihak lain yang menerima aliran dana. Ataupun masih ada pihak lain yang diduga berperan dalam konstruksi perkara ini," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

Diketahui, penetapan Iwa sebagai tersangka merupakan hasil dari pengembangan perkara yang berawal dari kegiatan tangkap tangan pada 14 dan 15 Oktober 2018. Sebanyak sembilan orang telah divonis dalam kasus ini, termasuk Neneng Hasanah.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, dalam perkara ini, diduga Iwa meminta uang senilai Rp 1 miliar kepada Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi Nurlaili. Uang itu terkait pengurusan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)Kabupaten Bekasi Tahun 2017. RDTR itu menjadi bagian penting untuk mengurus proyek pembangun an proyek Meikarta di Kabupaten Bekasi.

Awalnya, pada 2017 Neneng Rahmi menerima sejumlah uang terkait dengan pengurusan RDTR Kabupaten Bekasi yang kemudian diberikan kepada beberapa pihak dengan tujuan memperlancar proses pembahasannya. Sekitar Bulan April 2017, setelah masuk pengajuan Rancangan Perda RDTR, Neneng Rahmi Nurlaili diajak oleh Sekretaris Dinas PUPR untuk bertemu pimpinan DPRD di Kantor DPRD Kabupaten Bekasi.

"Pada pertemuan tersebut Sekre taris Dinas PUPR menyam paikan permintaan uang dari Pimpinan DPRD terkait pengurusan tersebut," kata Saut di Gedung KPK Jakarta, Senin (29/7).

Setelah disetujui DPRD, lanjut Saut, rancangan Perda RDTR Kabu paten Bekasi Bekasi kemudian di kirim ke Provinsi Jawa Barat untuk dibahas. Namun, Raperda itu tidak segera dibahas oleh kelompok kerja BKPRD, padahal dokumen pendukung sudah diberikan. Untuk memproses RDTR itu, Neneng Rah mu harus harus bertemu dengan Iwa Karniwa.

"Neneng Rahmi kemudian men dapatkan Informasi bahwa tersangka IWK (Iwa Karniwa) meminta uang Rp 1 miliar untuk penyelesaian proses RDTR di Provinsi," kata Saut.

Akhirnya, permintaan tersebut diteruskan kepada salah satu karyawan PT Lippo Cikarang. Setelah pihak Lippo menyerahkan uang Neneng Rahmi melalui perantara menyerahkan uang pada Iwa dengan total Rp 900 juta. (dian fath risalah, ed: ilham tirta)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement