REPUBLIKA.CO.ID, Aktivitas masyarakat di Papua berangsur normal pasca-aksi protes atas tindakan rasialisme yang berujung kericuhan. Para pedagang kembali berjualan di pasar-pasar tradisional. Para pelajar di semua jenjang juga kembali bersekolah.
Di Manokwari, Papua Barat, para pedagang pada Jumat (23/8) tampak sudah menjajakan dagangan mereka di pasar terbesar di kota itu, yaitu Pasar Sanggeng. Pedagang aksesori khas Papua Barat, Ani masoka (54 tahun), mengaku baru berjualan setelah empat hari terakhir terjadi kericuhan.
Ia kembali berjualan karena merasa kondisi saat ini sudah aman. "Kemarin-kemarin tidak jualan. Sama sekali tidak datang ke pasar, tidak bisa jualan karena pasar tutup," ujar dia yang mengaku sudah menjual barang kepada tiga pembeli, kemarin pagi.
Pedagang lainnya, Obel, juga sudah berdagang seperti biasa. Ia yang merupakan penjual sayur tak lagi merasa khawatir terhadap kondisi keamanan karena jalan-jalan sudah dapat dilalui seperti biasa. Ia berharap tidak ada lagi tindakan dan ucapan yang dapat menyinggung suatu suku sehingga membuat kondisi memanas.
"Jangan terjadi lagi, kita punya mulut harus dijaga baik-baik. Orang punya perasaan," kata Obel.
Seorang tukang ojek bernama Raymond (26) menambahkan, kondisi Manokwari sudah aman. Masyarakat pun sudah banyak yang beraktivitas di pasar. Saat terjadi kericuhan, pemuda yang mengaku melihat dari jauh karena mempertimbangkan situasi rawan, tidak dapat bekerja karena jalanan Manokwari lumpuh.
"Aktivitas ekonomi sudah seperti biasa meski belum seramai sebelumnya, tetapi ini sudah ada perubahan. Semoga tidak ada lagi yang terprovokasi sehingga kita tetap bisa mencari uang," kata Raymond.
Para pelajar di Manokwari juga sudah masuk sekolah setelah terjadi kericuhan di Ibu Kota Provinsi Papua Barat itu pada awal pekan ini. Kendati demikian, kegiatan belajar dan mengajar belum berjalan optimal.
Salah seorang pelajar, Bei Manggapro (14), yang ditemui sepulang sekolah di Manokwari pada Jumat (23/8) mengatakan, ia sempat tidak sekolah selama dua hari pada Selasa (20/8) dan Rabu (21/8). "Libur dua hari lalu yang kacau-kacau itu. Mungkin masih ada yang takut, yang lain sekolah, masih ada yang takut dengan keadaan, yang lain tidak sekolah. Belum belajar," kata siswa yang duduk di kelas X itu.
Selain itu, Peni (16) mengatakan, pada Senin (19/8) saat terjadi kericuhan, ia masih masuk sekolah pada paginya, tetapi diperbolehkan pulang lebih awal. Setelah itu sekolah diliburkan selama dua hari.
"Dari Kamis sudah masuk. Sudah tidak takut, pergi saja. Pasti kalau ada kacau, ibu kepsek hubungi polisi,\" tutur siswa kelas XI itu.
Dir Samapta Polda Papua Barat Kombes Pol Sugeng Widodo menyebut sejauh ini situasi di Papua Barat, khususnya Manokwari, sudah kondusif dan aman. "Masyarakat sudah bisa melaksanakan aktivitas sebagaimana mestinya. Yang ke pasar, sudah ke pasar. Yang ke kantor, bisa ke kantor seperti biasa, sekolah juga sudah normal," tutur Sugeng.
Kondisi serupa terlihat di Kota Sorong, Papua Barat. Aktivitas sekolah kembali normal setelah adanya demonstrasi menolak rasialisme yang berujung ricuh pada 19-20 Agustus. Pantauan Antara di Sorong, Jumat (23/8), hampir semua sekolah mulai dari jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK telah beroperasi kembali seperti semula.
Sejak Senin (19/8), seluruh sekolah di Kota Sorong diliburkan oleh pemerintah daerah karena kericuhan massa aksi menolak rasialisme yang merusak dan membakar fasilitas umum. Salah seorang guru SD Inpres 50 Kota Sorong, Jumadi, saat ditemui di halaman sekolah mengakui SD tersebut telah beraktivitas kembali seperti semula. "Hanya saja hari ini siswa belum belajar, tetapi membersihkan kelasnya," katanya.
Dia berharap Kota Sorong tetap aman dan damai sehingga aktivitas pendidikan di daerah tersebut tetap berjalan lancar demi masa depan generasi muda bangsa Indonesia. Selain sekolah, beberapa perguruan tinggi di Kota Sorong juga telah melakukan aktivitas perkuliahan seperti biasanya.
Di Timika, Provinsi Papua, sekolah-sekolah di semua jenjang bahkan telah beraktivitas sejak Kamis (22/8). Wakil Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Mimika Boni Silaban mengatakan, meski sekolah kembali dibuka, jumlah siswa yang datang ke sekolah masih sedikit. "Sebagian masih khawatir akan ada aksi unjuk rasa lanjutan, tapi pihak keamanan memberi jaminan bahwa situasi Timika sekarang ini sudah pulih," kata Boni.
Saat aksi unjuk rasa warga Papua berlangsung di halaman kantor DPRD Mimika, sekolah-sekolah di Timika, termasuk SMA Negeri 1 Mimika, memulangkan siswanya lebih awal. "Kami terpaksa pulangkan siswa lebih awal karena ada banyak orang tua murid datang ke sekolah menjemput anak mereka karena khawatir dengan situasi yang ada," ujarnya.
Ketua Musyawarah Kerja Pengawas SMA-SMK Kabupaten Mimika Laurents Lassol juga memastikan semua SLTA di Timika kembali beraktivitas pada Jumat ini. Ia meminta para kepala sekolah untuk mengawasi siswanya agar tidak ikut-ikutan dalam aksi unjuk rasa, apalagi yang memiliki muatan-muatan politik tertentu.
"Kami minta kepala sekolah untuk menertibkan peserta didik. Jangan membiarkan anak-anak terlibat pada hal-hal yang belum pantas mereka ikut karena waktunya bagi mereka untuk belajar dan menyiapkan diri untuk menyongsong masa depan," ujar Laurents.
Laurents meminta para pelajar SLTA di Mimika agar mengisi masa waktu pendidikan mereka dengan bekal ilmu pengetahuan yang memadai. "Satu-satunya gerbang untuk menuju masa depan yang gemilang itu hanya melalui jalur pendidikan. Jauhkan diri dari provokasi dan segala macam hal yang bisa merugikan diri sendiri dan masa depan generasi muda ini," ujarnya.
Trauma Mahasiswa Papua di Kota Bandung merasa trauma dan tidak nyaman setelah terjadinya tindakan rasialisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Mereka bahkan ingin secepatnya bisa pulang ke kampung halaman.
Hal itu seperti disampaikan perwakilan mahasiswa Papua di Kota Bandung, Tamelek Kosay. “Kami tidak merasa nyaman di Jawa. Dan, kami sudah merasa trauma,” kata Tamelek ditemui di Asrama Mahasiswa Papua di Cilaki, Kota Bandung, Jumat (23/8).
Ia bersama teman-temannya tidak nyaman karena merasa gerak-geriknya diawasi pascakonflik di Subaraya dan Malang. Mahasiswa Papua tidak lagi bebas karena merasa dipantau oleh aparat kepolisian. Selain itu, kata dia, beberapa kontrakan yang ditinggali mahasiswa Papua beberapa kali didatangi polisi. Polisi yang memeriksa identitas para mahasiswa pun tidak datang sekali dua kali saja.
“Karena ada kedatangan dari aparat ke kos-kos kemarin sempat terjadi juga di Bandung. Ada kontrakan putri Tolikara, ada juga kontrakan Sriwijaya itu pun yang sudah lapor ke kami kedatangan aparat. (Merasa) diawasi, minta KTP, minta nomor ponsel, dan lain-lain. Pagi, siang, sore datang, makanya kami juga tidak terima dengan hal itu. Kawan-kawan kami juga jadi takut dan trauma,” tuturnya.
Bangun dialog
Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan (GSK) Mahfud MD menyayangkan perlakuan rasalisme dan persekusi mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Guna menyelesaikan konflik tersebut, ia mendorong semua pihak mengutamakan dialog yang konstruktif dan persuasif terhadap masyarakat Papua. "Tentu, dialog konstruktif itu dilakukan sesudah suasananya tenang, lalu disisir masalahnya," ujar Mahfud di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Jumat (23/8).
Menurut dia, sebenarnya banyak permasalahan yang dihadapi masyarakat Papua sejak lama. Namun, mereka memilih untuk diam dan menyembunyikan masalah-masalahnya. Persekusi mahasiswa di Surabaya dan Malang hanyalah pemicu kericuhan yang mewakili ketidakpuasan masyarakat terhadap segala perlakuan yang mereka terima.
"Kita kaget luar bisa sekarang ini dan merasa agak cemas melihat perkembangan yang terjadi di Papua sehingga eskalasi tindak kekerasan berkembang dari efek domino dan itu mencemaskan kita," ujar Mahfud.
Karena itu, ia mendorong kepolisian dan pemerintah untuk menindak tegas pelaku persekusi. Hal itu diperlukan guna mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua terhadap Indonesia. \"Penegakan hukum harus dilakukan, pertama, pemicu-pemicu yang menimbulkan sentimen rasialis, karena itu tidak boleh terjadi di kemudian hari,\" kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Ia pun menegaskan, Papua merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu, pemerintah harus serius menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi oleh Papua.
"Ada segi-segi sosiologis yang harus dibenahi untuk ke depan, aspek kedaulatan, asek kesejahteraan. Papua adalah bagian sah dari Republik Indonesia sehingga tak perlu ada provokasi untuk memisahkan diri dari Indonesia," ujar Mahfud.