Kamis 22 Aug 2019 06:51 WIB

Warga Papua Bersatu Bersihkan Sisa Kerusuhan

Warga Papua Bersatu Bersihkan Sisa Kerusuhan

Rep: fuji e permana/dian erika nugraheny/arif satrio nugroho/antara / Red: Muhammad Subarkah
Warga membersihkan puing sisa kerusuhan di salah satu gedung yang terbakar di Manokwari, Papua Barat, Selasa (20/8/2019). Pascakerusuhan yang terjadi pada Senin (19/8), kondisi Manokwari sudah kondusif dan warga mulai melakukan aktivitas di ruang publik.
Foto: Antara
Warga membersihkan puing sisa kerusuhan di salah satu gedung yang terbakar di Manokwari, Papua Barat, Selasa (20/8/2019). Pascakerusuhan yang terjadi pada Senin (19/8), kondisi Manokwari sudah kondusif dan warga mulai melakukan aktivitas di ruang publik.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Kondisi RT 02/03, Jalan Pendidikan, Kelurahan Klabulu, Distrik Malaimsimsa, Kota Sorong, Papua Barat, pada Rabu (21/8) jauh berbeda dari hari sebelumnya. Tak ada lagi pembakaran, tak ada teriakan-teriakan mengancam, tak ada lemparan batu dan gas air mata.

Sejak pagi hari warga di wilayah itu bersama-sama membersihkan palang jalan yang sebelumnya dipasang dalam aksi unjuk rasa menolak rasialisme yang berujung ricuh pada 19-20 Agustus 2019.

Di Jalan Pendidikan, Kelurahan Klabulu, belasan warga dari berbagai latar belakang suku dan agama bersatu bergotong royong membersihkan puing-puing kayu dan ban yang dibakar di tengah jalan. Lurah Klabulu Antonia Iek menjelaskan, kebersamaan warga Kelurahan Klabulu ini menunjukkan kepada dunia bahwa warga Papua cinta kedamaian dan persatuan bangsa.

“Terlebih khusus Kelurahan Klabulu menghargai perbedaan suku, ras, dan agama sebagai bangsa Indonesia,” kata dia, kemarin.

Suasana di Kota Sorong memang sudah mulai kondusif kemarin. Demikian juga dengan kondisi di Manokwari, ibu kota Papua Barat. "Alhamdulillah, kondisi di Manokwari sudah kembali normal, sampah-sampah yang berserakan di jalan sudah dibersihkan oleh TNI, Polri, ASN dan masyarakat. Alhamdulillah, hari ini sudah berangsur normal," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Papua Barat Ustaz Ahmad Nausrau saat dihubungi Republika, Rabu.

Ia menjelaskan, untuk meredam gejolak di Papua, harus ada langkah hukum terhadap orang-orang yang diduga melakukan ujaran kebencian dan rasialisme. Ustaz Ahmad juga menyesalkan terjadinya perusakan fasilitas umum di sejumlah daerah di Tanah Papua.

"Provokator, pihak yang sengaja membuat keributan yang berujung pada tindakan anarkisme dan pembakaran, diserahkan ke aparat penegak hukum untuk mencari siapa dalang di balik kerusuhan," ujarnya.

Bagaimanapun, ketenangan di Sorong dan Manokwari tak menggambarkan kondisi secara keseluruhan di Papua. Aksi unjuk rasa yang juga berujung kericuhan pada saat yang bersamaan terjadi di Fakfak, Papua Barat; dan Timika, Papua.

Di Fakfak, menurut warga setempat Jumat Patipi, massa sempat melakukan pembakaran di Pasar Tambaruni. "Sempat juga ada kasi naik bendera Bintang Kejora di kantor Lembaga Adat Papua di Kota Baru," ujar dia.

Aksi pengibaran bendera tersebut kemudian dihentikan oleh sekelompok warga lain yang tergabung dalam Barisan Merah Putih. Massa aksi tandingan ini, kata Jumat Patipi, datang dari Wagom, Tanama, Pasir Putih, Kokas, dan sejumlah wilayah lain di Fakfak.

"Itu mereka datang bawa bendera Merah Putih terus kasi bubar aksi. (Warga pendatang) dari (Pulau) Seram juga ikut," kata dia.

Fakfak memang memiliki demografi agak berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Papua dan Papua Barat. Wilayah itu terbilang lebih dahulu kedatangan penduduk dari Maluku dan Sulawesi daripada daerah lainnya di tanah Papua.

Kapolres Fakfak AKBP Deddy Four Millewa mengatakan, aksi di Fakfak bukan sekadar aksi yang dilakukan oleh mahasiswa maupun masyarakat saja. Ia menilai aksi itu terorganisasi. "Ini campuran, jadi ada terorganisasi kelompok-kelompok terorganisasi berbau politis, seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan organisasi Bintang Kejora dan lain-lain," kata dia saat dihubungi Republika, Rabu.

Ia mengatakan, dalam aksi di Fakfak, kepolisian menemukan atribut bendera Bintang Kejora yang selama ini menjadi simbol perlawanan dan kemerdekaan Papua Barat.

"Tadi yang dibawa ada berapa, ya, saya tidak bisa hitung, tapi ada banyak juga, tapi yang didirikan satu di kantor Dewan Adat sebagai simbol," ujar Deddy.

Deddy menyebut sempat muncul pula ketersinggungan saat Bupati Fakfak Mohammad Uswanas dipaksa memegang bendera Bintang Kejora. Saat itu, kata Deddy, ada pihak lain yang merasa tersinggung saat bupati dipaksa sehingga sempat terjadi bentrok antarwarga. "Sudah konsolidasi semua pihak untuk amankan dua kubu, ada bentrok antara dua kubu," ucap Deddy.

Wakil Gubernur Papua Barat Mohamad Lakotani juga mengatakan, ada indikasi kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Fakfak ditunggangi oleh sejumlah kelompok. “Mungkin kelompok kriminal, kelompok anak-anak nakal yang selama ini suka melakukan kriminal dan menanti momen melakukan penjarahan dan kegiatan semacam ini," ujar Mohamad Lakotani ketika dikonfirmasi Republika.

Sedangkan, di Timika, menurut Khuzumaetin, warga Apiri, warga sedianya beraktivitas dengan normal pada Rabu (21/8). Kendati demikian, pada pukul 09.00 WIT mulai terdengar kabar aksi akan dilakukan. Sejak itu, anak-anak sekolah dan pegawai seluruhnya dipulangkan. "Di depan rumah ini orang jual bensin juga langsung kasi masuk semua," ujarnya.

Menurut dia, ratusan warga bergerak ke gedung DPRD dan melakukan pelemparan. Hingga menjelang sore, aksi masih terus digelar. Warga pendatang maupun tempatan yang tak mengikuti aksi sejauh ini masih takut keluar rumah.

Pada ujung hari, aparat Polres Mimika dibantu TNI mengamankan sekitar 45 orang pelaku tindakan anarkistis di halaman DPRD Mimika. Kapolres Mimika AKBP Agung Marlianto mengatakan, sebanyak 20 orang diamankan setelah merusak Hotel Grand Mozza di Jalan Cenderawasih.

Beberapa lainnya diamankan setelah melemparkan batu ke fasilitas kantor DPRD Mimika dan aparat keamanan, sekitar 15 orang lainnya diketahui merupakan aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB). "Totalnya ada 45 orang yang kami amankan untuk dilakukan proses penegakan hukum, sebab tidak dibenarkan melakukan kegiatan unjuk rasa anarkistis dengan cara melakukan perusakan seperti tadi," kata AKBP Agung.

Masyarakat adat Kabupaten Biak Numfor, Papua, yang tergabung dalam forum peduli keadilan Papua juga menuntut pemerintah segera mengusut tuntas pelaku ujaran rasialisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, Jawa Timur.

"Kami, warga Biak Numfor, menolak segala bentuk aksi rasialisme terhadap orang asli Papua, terutama yang dialami mahasiswa di Surabaya dan Malang,\" kata Ketua Forum Keadilan untuk Papua Biak Willem Rumpaidus dalam demonstrasi damai di kantor bupati Biak di Jalan Majapahit, Rabu.

Bupati Biak Numfor Herry Ario Naap mengatakan, adanya perlakuan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang serta beberapa daerah lain di Pulau Jawa telah menimbulkan gejolak sosial bagi warga Papua di sejumlah daerah. Selepas menjanjikan akan meneruskan aspirasi massa, para pengunjuk rasa membubarkan diri dengan damai.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement