Rabu 21 Aug 2019 08:57 WIB

Salah Kaprah Wacana ASN Bekerja dari Rumah

Bekerja dari rumah bukan berarti ASN tidak datang ke kantor.

Andi Nur Aminah
Foto: Republika/Daan Yahya
Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Nur Aminah*

Wacana Aparat Sipil Negara (ASN) bekerja dari rumah mengemuka sejak awal Agustus ini. Meski baru wacana, pendapat pro kontra pun bermunculan.

Dari mana mulanya muncul wacana ini? Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) adalah pihak yang pertama menggelindingkannya. Deputi Bidang SDM Aparatur Kemenpan-RB Setiawan Wangsaatmaja menyebut kepintaran ASN dalam menggunakan teknologi menggiring sistem pemerintahan Indonesia ke birokrasi 4,0.

Wacana tersebut memang masih dalam proses rancangan dan belum diketahui kapan bisa diterapkan. Kebijakan ini mewacanakan kemungkinan ASN bisa bekerja dari rumah layaknya pegawai start up. Tinggal membuat aturannya yang bagaimana.

Sejak 2014, rekrutmen CPNS memang mulai dilakukan dengan sistem IT. Selain untuk efisiensi, rekrutmen dengan cara baru itu bertujuan agar CPNS yang direkrut memahami IT. Dengan memahami IT sejak dari awal perekrutan, diharapkan hal tersebut kelak bisa diterapkan dalam pekerjaan.

Sejak pendaftaran, CPNS sudah harus menggunakan sistem komputerisasi. Diharapkan dengan cara ini, CPNS yang lolos penyaringan memiliki basis IT yang cukup kuat. Jika CPNS yang lolos memiliki pemahaman mengenai pemanfaatan IT, Kemenpan RB pun yakin akan terjadi percepatan, efisiensi, dan akurasi pelayanan, serta berdampak sosial.

Ada beberapa posisi yang dimungkinan untuk diberi fleksibilitas kerja. Fleksibilitas kerja dinilai menjadi hal penting menyusul akan terjadinya perubahan besar profil pegawai negeri sipil pada 2024 mendatang. Diperkirakan jumlah PNS yang melek teknologi akan bertambah seiring rekruitmen baru yang diisi generasi melek teknologi.

Layanan masyarakat pun nantinya akan berbasis digital dan terintegrasi. Dari catatan Kemenpan RB, pemerintah memiliki 572 ribu pegawai ASN yang melek teknologi. Adapun jumlah total ASN saat ini mencapai 4,3 juta orang.

Sebetulnya, fleksibiltas kerja yang dimaksud di sini adalah jika pekerjaan tersebut tak bisa tuntas di kantor, maka pekerjaan itu bisa dibawa pulang ke rumah. Jadi, di sini ada sedikit salah kaprah atas wacana ASN kerja dari rumah itu.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Syafruddin pun menyampaikan banyak masyarakat salah memahami ide ASN kerja dari rumah ini. Syafruddin menyebut wacana ini maksudnya bukan merumahkan ASN terus mereka bekerja dari rumah dan tidak ada yang masuk kantor.

Peguasaan teknologi yang baik, membuat seorang ASN bisa bekerja di mana saja. Mengontrol pekerkaan, bahkan rapat-rapat pun bisa dilaksanakan secara jarak jauh, tanpa fisik berkumpul dalam satu ruangan. Apalagi kondisi di kota metropolitan seperti Jakarta, di mana kemacetan lalu lintas kerap melanda, dan susah diprediksi. Sehingga, ASN dengan kondisi tak memungkinkan bekeja di kantor bisa bekerja dari luar misalnya di mobil, di kereta, di luar daerah bahkan ketika berada di luar negeri.

Jadi sebetulnya Syafruddin menyebut ide bekerja dari rumah tersebut muncul karena banyak ASN mempunyai beban kerja tinggi yang tak mungkin diselesaikan di kantor. Pasalnya jam kerja di kantor terbatas.

Jika seperti itu, maka harusnya yang dipikirkan adalah beban pekerjaan yang dilanjutkan para ASN ini hingga ke rumah, bagaimana mekanismenya. Bagaimana sistem penilaiannya, dan hitung-hitungan gajinya. Apakah akan dihitung sebagai 'kerja lembur' seperti yang selama ini dipraktikkan oleh pihak swasta?

Sebagai anak dari sepasang ASN yang dulunya disebut Pegawai Negeri Sipil (PNS), saya jadi terkenang bagaimana ayah saya, yang pernah dengan kekeuh menolak menandatangani selembar surat hanya karena alasan dia sudah di rumah dan memang sudah bukan jam kerja. Surat itu baru akan ditekennya besok hari dengan syarat harus dibawa ke kantor.

Di sisi lain, saya pun terkenang bagaimana ayah saya suatu sore tiba-tiba pergi meninggalkan rumah setelah mendapat laporan tanggul yang mengairi sawah warga jebol. Saya yakin, jika bukan karena merasa bertanggungjawab akan pekerjaan yang diembannya, diiringi semangat kesadaran dan pengabdian pada bangsa, mungkin dia akan berleyeh-leyeh di rumah. Toh, jam kerja kedinasannya telah usai dan akan berlajut esok harinya.

Tapi, mana bisa ayah saya tidur nyenyak membayangkan sawah warga terendam air tak terkendali akibat tanggul yang jebol. Atau mana bisa ibu saya yang seorang suster, mengabaikan ketukan pintu di malam hari saat ada warga datang membawa anggota keluarganya yang sakit.

Kuncinya, bagi saya, ASN yang baik adalah mereka yang tetap memegang teguh sumpah atau janjinya. Dimana salah satunya adalah mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingannya sendiri, seseorang atau golongan.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement