REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko menilai keterlibatan oknum Jaksa dalam kasus korupsi merupakan sebuah masalah yang serius. Terlebih, Jaksa yang baru saja ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan anggota Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan, dan Pembangunan Pusat-Daerah (TP4D) yang merupakan jaksa pilihan.
"Ini adalah gabungan antara problem integritas para jaksa dan sistem pengendalian internal di kejaksaan," kata Dadang kepada Republika.co.id, Selasa (20/8).
Dadang menuturkan, seorang Jaksa dalam melaksanakan fungsinya sebagai anggota TP4D yang khusus dalam aspek pencegahan korupsi memiliki kerentanan penyalahgunaan kewenangan yang lebih tinggi dibanding jaksa lain yang hanya bertugas dalam penegakan hukum. Sementara dalam tugas di TP4D belum disertai atau dilengkapi dengan instrumen pengendalian atau pencegahan korupsi.
Sehingga, situasi konflik kepentingan mudah terjadi dalam pelaksanaan tugas pendampingan di Kementrian, Lembaga atau bahkan di BUMN atau BUMD. Oleh karenanya, oknum jaksa yang rendah integritasnya akan mudah memanfaatkan celah-celah yang ada.
Atas kejadian ini, lanjut Dadang, ada baiknya agar fungsi TP4D tidak hanya berasal dari unsur kejaksaan. Menurut Dadang, keterlibatan Kedeputian pencegahan KPK dan BPKP di dalam tim itu akan membuat tim ini lebih efektif dan akuntabel kerjanya.
KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Yogyakarta pada Senin (19/8). Dari OTT itu setidaknya KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus suap terkait lelang proyek pada Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta Tahun Anggaran 2019.
Mereka adalah Direktur Utama PT. Manira Arta Mandiri Gabriella Yuan Ana (GYA) sebagai pemberi suap. Sementara dua orang lainnya, Jaksa di Kejaksaan Negeri Yogyakarta, anggota TP4D Eka Safitra (ESF) dan Jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta Satriawan Sulaksono (SSL) diduga sebagai penerima.