Selasa 20 Aug 2019 08:30 WIB

Dipertanyakan, 338 Napi Korupsi Dapat Remisi

Remisi kepada narapidana korupsi harus dipandang sebagai pelanggaran prosedur.

Sejumlah aktivis menolak remisi untuk koruptor dan bandar narkoba (ilustrasi).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Sejumlah aktivis menolak remisi untuk koruptor dan bandar narkoba (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 130.383 narapidana di seluruh Indonesia memperoleh remisi umum (RU) pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-74 Republik Indonesia, Sabtu (17/8). Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat 338 narapidana kasus korupsi mendapatkan remisi.

"Ini Ironi, satu sisi seluruh ma syarakat sedang gegap gempita merayakan ulang tahun Indonesia, namun sayangnya Kementerian Hukum dan HAM justru memberi keleluasaan kepada narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan pengurangan hukuman," kata peneliti ICW Wana Alamsyah, Senin (19/8).

Wana menjelaskan, mengacu pada regulasi, aturan terkait pemberian remisi secara tegas disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012. Pemberian remisi pada nara pidana kasus korupsi, kata dia, berbeda dengan narapidana tindak pidana umum lainnya.

Untuk tindak pidana umum, remisi hanya mensyaratkan berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan. Sementara, tindak pidana korupsi harus ditambahkan dua poin, yakni bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus korupsi dan telah membayar lunas uang pengganti sesuai putusan pengadilan.

"Misalnya pada syarat berkelakuan baik, tentu Kemenkumham harus benar-benar memperhatikan aspek ini. Jangan sampai justru yang terlihat oleh publik adanya narapidana kasus korupsi yang diduga sempat mendapatkan fasilitas sel mewah, malah diberikan pengurangan hukuman," ujar dia.

Menurut dia, pemberian remisi kepada para narapidana tindak pidana korupsi harus dipandang sebagai pelanggaran prosedur. Sebab, kekhususan remisi pada napi korupsi karena korupsi telah dikategorikan sebagai extraordinary crime.

"Jadi, tidak dibenarkan jika adanya pernyataan dari Kemenkumham yang menyebutkan pertimbangan pemberian remisi pada narapidana korupsi hanya terbatas pada berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan," kata dia.

Peneliti ICW lainnya, Kurnia Ramadhana, menambahkan, maraknya pemberian remisi pada napi kasus korupsi akan mengganggu stabilitas dari pemberian efek jera pada sistem peradilan pidana. Keberadaan lembaga pemasyarakatan (lapas) harusnya dimaknai penting sebagai hilir dari pemberian efek jera.

"Kinerja dari penegak hukum pada ranah penyeli dikan, penyidikan, dan penunututan serta peran institusi kehakiman pada ranah pemberian hukuman akan men jadi sia-sia," ujar dia.

Kurnia mengatakan, yang perlu dikritisi juga adalah keterbukaan informasi di Kemenkumham. Hingga hari ini, kata dia, tidak ada data yang dipapar kan mengenai total narapidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi. "Harusnya ini dijadikan evaluasi karena bagaimanapun peran masyarakat sebagai kontrol kebijakan publik dapat berjalan," katanya.

ICW menuntut agar pemerintah, khususnya Kemenkumham, dapat benar-benar selektif dalam memberikan remisi kepada napi korupsi. ICW juga men desak agar Kemenkumham membuka data terkait jumlah dan nama napi korupsi yang mendapatkan remisi.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Sri Puguh Budi Utami menegaskan, pemberian remisi terhadap para napi korupsi adalah khusus kepada mereka yang mendapatkan status justice collabolatoratau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum. "Posisi JC harus diberikan remisi," ujar Sri Puguh ketika dikonfirmasi.

Sri Puguhmenerangkan, pemberian remisi saat ini pun lebih mudah dan tepat sasaran lantaran menggunakan sistem online. "Syarat mutlaknya yang bersangkutan berkelakuan baik, tidak melanggar tata tertib, masa pidana sudah dilalui, dan ada surat yang bersangkutan sebagai JC," kata Sri Puguh menerangkan. (dian fath risalah, ed:ilham tirta)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement