REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia mendorong agar dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Revisi dengan mempertegas beberapa hal seperti masalah pencalonan, praktik politik uang, dan sebagainya.
"Ini memang berbeda ya. Ini karena pilkada tidak masuk dalam pemilu, maka (pilkada) tidak masuk ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu," kata Ketua Bawaslu RI Abhan saat konferensi pers yang digelar Bawaslu Kabupaten Banyumas di Purwokerto, Jawa Tengah, Ahad (18/8) sore.
Dalam hal ini, UU Pilkada tersebut adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Ia mengakui dalam UU Pilkada, pengawasan dilakukan oleh panitia pengawas (Panwas) di tingkat kabupaten/kota maupun panwaslu provinsi, sedangkan dalam UU Pemilu dilakukan oleh Bawaslu.
Menurut dia, Bawaslu memiliki fungsi yang sama dengan Panwaslu seperti yang dimaksud di dalam UU Pilkada. Perbedaannya, ia mengatakan, hanya nomenklaturnya.
"Saat ini, ada teman-teman dari kabupaten/kota yang melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi agar nomenklatur panwas pemilihan itu yang dimaksud adalah Bawaslu kabupaten/kota yang ada sekarang ini. Tentu tidak akan efektif kalau ada dua lembaga pengawas, Bawaslu dan panwas pemilihan," katanya.
Karena itu, kata dia, beberapa Bawaslu kabupaten/kota mengajukan uji materi di MK dan sekarang sudah didaftar sehingga tinggal menunggu sidangnya. Abhan mengatakan, hal lain yang sangat mendesak sekali kalau seandainya ada revisi terhadap UU Pilkada adalah soal peraturan bagi calon kepala daerah yang pernah menjadi narapidana kasus korupsi.
"Itu yang saya kira harus ditegaskan di dalam undang-undang. Jangan sampai, ini nanti jadi pertentangan kembali antara PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) dan UU," katanya.
Menurut dia, hal itu disebabkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, orang yang pernah menjadi napi kasus korupsi masih bisa mencalonkan diri selama mendeklarasikan dirinya jika pernah menjalani hukuman pidana korupsi. "Kalau ada revisi (UU Pilkada), norma semacam ini harus dipertegas dalam undang-undang. Tentu hal lain, soal ancaman diskualifikasi karena melakukan praktik politik uang juga harus dipertegas," katanya.
Ia mengatakan, sementara ini ancaman diskualifikasi terhadap calon itu ketika terjadi secara terstruktur, sistematif, dan masif (TSM). "Ini nanti apakah harus dipertegas, misalnya ketentuan TSM ini lebih dipermudah karena saat ini memang ketentuan TSM sangat sulit. Yang jelas nanti kalau seandainya ada revisi, soal mantan napi kasus korupsi harus dipertegas, kemudian sanksi diskualifikasi bagi pelanggar harus dicantumkan dengan tegas dalam Undang-Undang Pemilu," katanya.