REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Fauziah Mursid, Antara
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tengah mewacanakan amandemen terbatas terhadap UUD 1945. Topik yang didorong dalam amendemen UUD 1945 adalah pengembalian fungsi Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Bagi ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, GBHN sudah tidak direlevan dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku saat ini Indonesia. "Sebenarnya GBHN sudah tidak relevan dengan konteks ketatanegaraan kita yang sekarang, karena GBHN itu dulunya mandat dari MPR kepada presiden, karena presiden dulu dipilih oleh MPR bukan rakyat secara langsung seperti sekarang," ungkap Bivitri ketika dihubungi di Jakarta pada Selasa (13/8).
Menurut salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu, GBHN dahulu merupakan mandat yang diberikan kepada presiden, ketika pimpinan eksekutif negara gagal menjalankannya terdapat konsekuensi bisa dimakzulkan oleh MPR. Dia mengambil contoh yang terjadi dengan Presiden Soekarno yang dijatuhkan oleh MPRS pada 1967 dan Gus Dur yang dimakzulkan oleh MPR pada 23 Juli 2001.
Namun, hal itu berubah setelah dilakukan amandemen undang-undang pascareformasi bahwa presiden tidak bisa dijatuhkan di tengah masa jabatannya kecuali melakukan tindakan pidana tertentu. "Tidak tepat bila dipaksakan, bahkan kemudian dijadikan bargain untuk siapa yang menjadi pimpinan MPR. Lalu muncul pertanyaan kenapa ngotot sekali?" ujarnya.
Menurut Bivitri, amandemen konstitusi bukanlah hal tabu yang tidak boleh dilakukan. Tetapi, harus dibuat dengan dasar apakah perubahan itu bermanfaat untuk rakyat atau tidak.
Rencana mengamandemen UUD 1945 dan mengaktifkan kembali GBHN juga dinilai berpotensi menimbulkan persoalan serius. Agenda tersebut berpotensi mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Pengamat hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan dampaknya, yakni melemahkan lembaga negara lainnya seperti presiden. "GBHN itu akan menimbulkan permasalahan serius dalam ketatanegaraan kita, karena dampaknya tidak hanya penguatan MPR, tetapi juga pelemahan terhadap lembaga negara yang lain, termasuk presiden," ujar Feri saat dihubungi wartawan, Senin (12/8).
Feri menggambarkan jika MPR mengaktifkan GBHN maka membuat presiden bertanggungjawab terhadap dua lembaga, yakni DPR dalam penyelengaraan undang-undang, dan MPR dalam hal GBHN. Dengan demikian, ia menilai dampak paling luas dari diaktifkannya GBHN adalah melemahkan sistem presidensial. Ini terjadi jika Presiden dianggap tidak mengikuti arah GBHN yang disusun oleh MPR.
"Presiden dianggap melanggar GBHN, presiden juga akan dianggap melanggar konstitusi juga, jadi ada dampak politik yang menyertai sehingga timbulah pelemahan terhadap sistem presidensial, harus diingat bahwa sistem pemerintaham presidensial itu sentra kekuasaan ada di tangan presiden," kata Feri.
Feri mengatakan, alih-alih dilemahkan, semestinya sistem presidensial dikuatkan bahwa kekuasaan di tangan rakyat. Menurutnya, bukan justru menguatkan kewenangan MPR, yang berarti mengganti sistem pemerintahan menjadi parlementer.
"Nah dengan memberikan kewenangan itu sama saja, kita mau mengubah sistem ketatanegaraan, dari sistem presidensial, menjadi sistem pemerintahan parliamenter, itu sama saja melanggar konstitusi," ujar Feri.
Karena itu, Feri pun menuding ada kepentingan politik dari PDIP yang begitu gencar mewacanakan amandemen UUD 1945 dan menghidupkan GBHN. Feri menilai, ada upaya agar presiden kembali dikendalikan oleh MPR melalui GBHN.
"Partai saat ini seperti hendak mau mengendalikan presiden melalui GBHN dan MPR. PDIP kan termasuk yang mayoritas, jangan jangan ada misi politik PDIP untuk mengendalikan presiden," kata Feri.
Feri pun menilai langkah tersebut merugikan sistem pemerintahan presidensial. Selain itu, langkah itu hanya menguntungkan partai besar, namun merugikan partai partai kecil.
"Itu tidak boleh, masa karena kepentingan partai sistem ketatanegaraan hendak dirusak, lalu sebenarnya merugikan partai partai lain," kata dia.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, GBHN memang menjadi hal penting bagi suatu negara untuk memiliki dasar pembangunan. Namun, harus ada penelitian lebih lanjut terkait dampak bagi hierarki kepemimpinan lembaga eksekutif.
"Memang harus dikaji bagaimana supaya ini tidak menyebabkan masalah-masalah yang menyangkut perubahan struktur kenegaraan, efeknya yang harus dikaji ulang. Apakah itu menyebabkan MPR menjadi lembaga tertinggi lagi? Berarti MPR membawahi DPR lagi," kata Wapres JK kepada wartawan di Kantor Wapres Jakarta, Selasa.
JK menjelaskan, pada dasarnya konsep GBHN dan sistem perencanaan pembangunan nasional saat ini tidak berbeda. Pemerintah saat ini juga memiliki dasar perencanaan untuk pembangunan, yang diterjemahkan dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) dan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN).
"Itu suatu hal yang penting sebenarnya, sehingga negara bisa bikin perencanaan jangka panjang atau jangka menengah lima tahun. GBHN itu waktu amandemen UUD 1945 diganti dengan RPJMN, RPJPN yang diatur oleh undang-undang," jelasnya.
RPJP Nasional merupakan dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 20 tahun yang ditetapkan pada 2005 hingga 2025. Rencana pembangunan tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007, yang kemudian terbagi dalam beberapa tahap perencanaan pembangunan jangka menengah lima tahunan.
JK menjelaskan perbedaan antara GBHN dan RPJPN hanyalah pada penempatan rencana pembangunan tersebut. Kalau GBHN, presiden terpilih akan menyesuaikan program kampanyenya dengan garis besar tersebut. Sementara dalam RPJPN, presiden terpilih menyampaikan program kerjanya untuk kemudian diterjemahkan dalam RPJMN.
"Jadi sekali lagi, kita ada RPJM yang diatur di undang-undang juga, mengikat juga. Cuma itu berasal dari hasil kampanye presiden. Jadi ini dibalik, GBHN itu 'ini lho yang harus anda kerjakan, pak presiden';. kalau sekarang, 'ini yang akan presiden kerjakan'," ujarnya.
"Partai saat ini seperti hendak mau mengendalikan presiden melalui GBHN dan MPR. PDIP kan termasuk yang mayoritas, jangan jangan ada misi politik PDIP untuk mengendalikan presiden," Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari.
Penjelasan PDIP
PDIP membantah kabar yang menyebut, bahwa usulan amandemen terbatas UUD 1945 terkait penerapan kembali GBHN dan penguatan fungsi MPR. Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PDIP Ahmad Basarah menyebut, wacana tersebut keputusan bersama MPR.
"Wacana amandemen terbatas bukanlah semata-mata usulan PDIP," kata Basarah saat ditemui di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Selasa (13/8).
Basarah pun menceritakan kronologi wacana tersebut muncul sebagai rekomendasi MPR RI. Menurut dia, sejak 2010, muncul tiga usulan untuk amandemen, yakni mengembalikan pada UUD 1945 yang asli, menjalankan amandemen, dan perlu amandemen ulang.
Dari tiga kelompok masukan ini, kata Basarah, direspons oleh pimpinan MPR dan pimpinan fraksi MPR pd periode 2009 2014 lalu dengan membentuk tim kerja kajian ketatanegaraan. Tim ini kemudian bekerja dengan salah satunya menyerap aspirasi yanh berkembang dari masyarakat.
"Didapat kesimpulan masyarakat menginginkan kembalinya MPR memiliki wewenang haluan negara, akibat aspirasi itu, pada sidang paripurna terakhir pada November 2014 merekomendasikan tujuh poin," ujar Basarah.
Tujuh poin itu, kata Basarah, salah satunya merekomendasikan kepada MPR periode berikutnya untuk melakukan reformulasi sistem ketatanegaraan dengan menghadirkan kembali GBHN. Atas rekomendasi itu, maka 10 fraksi di MPR pada 2014-2019 menindaklanjuti dan menyetujui dilakukan amandemen terbatas untuk menghidupkan kembali GBHN. Sidang MPR pada 16 agustus 2018 tahun lalu maka dibentuk dua panitia ad hoc, soal GBHN, dan revisi tata tertib.
Namun, MPR periode 2014-2019 hampir usai, tak kurang dari dua bulan. Maka itu, menurut Basarah, tidak mungkin diadakan usulan amandemen terbatas. Sehingga, amandemen terbatas pun dibebankan ke MPR periode 2019-2024. Namun sifatnya, menurut dia hanya saran.
"Rekomendasi ini sifatnya hanya saran karrna tak ada sistem carry over dalam sistem ketatanegaraan kita di parlemen," ujarnya.
Maka itu, Basarah pun menegaskan, wacana tentang amandemen terbatas yang digulirkan kembali dalam Kongres V PDIP hanya meneruskan kesepakatan di MPR oleh seluruh fraksi dan DPD RI yang sudah menginisiasi amandemen terbatas UUD 1945. "Kalau konteksnya melihat kesepakatan MPR periode hari ini, 10 fraksi, sudah menyetujui amandemen terbatas untuk menghadirkan GBHN," kata Basarah.
[video] PDIP Ingin Menjadi Partai Pelopor