REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Buruh menyayangkan pertemuan antara Gubernur Jabar Ridwan Kamil dengan ILO, belum lama ini, untuk membahas masalah upah. Pasalnya, pertemuan itu tak mungkin merekomendasikan masalah upah itu sendiri.
Menurut Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat Roy Jinto Ferianto, pertemuan antara Gubernur Jabar dengan ILO mubazir. Ini karena, tak mungkin merekomendasikan upah sendiri. Pasalnya, penetapan upah ada aturannya secara internasional.
"Kalau Jabar menetapkan sendiri, itu artinya mendirikan negara di tas negara. Intinya, kalau itu diratifikasi upah kita paling rendah," ujar Roy kepada wartawan, Jumat (9/8).
Roy menjelaskan, pernyataan gubernur yang ingin menyetandarkan aturan upah seperti di internasional tak tepat. Karena, ketika itu diratifikasi upah di Jabar itu jauh dari standar internasional.
"Jadi jangan berpikir upah secara nasional. Makanya saya kemarin mengkritik," katanya.
Menurut Roy, terkait isu revisi Uu 13/2013, buruh khususnya SPSI pun membuat forum grup discusion (FGD) untuk membahas wacana tersebut. Agar, minimal buruh bisa melihat secara yuridis, filosofi sepeti apa revisi undang-undang ketenagakerjaan tersebut.
"Kami undang pakar hukum dari Unpar, Unpas, dan dari akademisi, sehingga kita paham kira-kira apa yang harus ditindaklanjuti jika Uu ini direvisi. Sehingga, kalau buruh tak akan mengambil statement menolak, tanpa konsep," ujarnya.
FGD ini, digelar dalam rangka menyiapkan konsep ketika memang nantinya dipaksakan harus direvisi maka akan diusulkan dan disusun draf sandingannya yang akan diusulkan pada pemerintah maupun DPR.
"Sepanjang merugikan buruh ya kami tolak, tapi harus ada dasar hukum, makanya kami lakukan kajian," katanya.
Menurut Roy, buruh akan merespons positif sepanjang revisi tersebut mengakomodir kedua belah pihak. Namun, kalau hanya rengekan pengusaha didengar tentu akan dilawan.
Ini karena, ia mendengar, revisi itu muncul ketika pemerintah menerima para pengusaha. "Pengusaha minta fleksibel. Nggak ada UMS,K tapi upah tunggal. Tidak ada minimum seperti di Eropa dan Asia," katanya.
Konsep tersebut, kata dia, yang akan mereka usung untuk membangun kepada pemerintah. Tak hanya Presiden, Wakil Presiden pun telah menyatakan di media bahwa upah harus diperbaiki. Karena, investasi ramai tapi tak ramah padahal sebelumnya tak ada masalah.
"Kami tak turun ke jalan tapi menggelar FGF. Jadi ketika revisi dipaksakan ini lho udah siap. Kami minta dilibatkan karena pembuatan Undang-undang harus melibatkan pihak terkait yaitu buruh juga," katanya.
Saat ini, kata dia, revisi aturan tersebut masih tarik ulur. Semuanya, saling menunggu karena pasti ada reaksi. "Kalau ga jadi revisi ya bagus, ga ada kekosongan hukum dan ga mendesak ini hanya dorongan pengusaha," katanya.
Senada dengan Roy, Ketua DPD FSP LEM SPSI Jawa Barat, Muhammad Sidharta mengatakan, tugas organisasinya memperjuangkan kepentingan dan hak buruh agar ada kepastian masa depan. Ketika pertemuan para pengusaha di istana menyebar di medsos, maka buruh mrlakukan kajian agar adil.
"Revisi uu 13/2013 jangan sampai rugikan pekerja. Dua unsur perlindungan dan keadilan kesemua pihak," katanya.
Saat ini, kata dia, revisi aturan yang menjadi wacana akan direvisi adalah pesangon dikurangi bahkan dihilangkan, magang, tenaga kerja asing kalau masuk di semua bidang maka WNI akan hilang kesempatan.
Sebelumnya, Menurut Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, untuk mencegah trend relokasi industri berlanjut, maka Pemprov Jabar akan mempertimbangkan pengkajian ulang kebijakan perumusan Upah Minimum Kota/Kabupaten di Jawa Barat.
"Kemarin saya rapat dengan ILO (International Labour Organization), saya enggak suka pengupahan di Jabar desentralisasi, pengupahan terlalu beda-beda dan gap nya sampai Rp2,6 juta," Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil.
Menurut Emil, opsi sentralisasi sistem pengupahan akan dipertimbangkan. Namun, hal tersebut tetap mempertimbangkan data soal kebutuhan mendasar masing-masing daerah soal hidup layak.
"Rekomendasinya adalah sentralisasi, kedua tetap berbasis data dari kota/kabupaten tentang kebutuhan mendasar mereka," katanya.
Selain itu, kata dia, pihaknya juga menilai rancangan identitas ekonomi antara zona-zona provinsi perlu dirumuskan agar investor yang merasa kurang 'sreg' dengan kapasitas suatu daerah dapat mencari daerah lainnya sebelum memutuskan hengkang dari Indonesia.
"Sehingga kalau provinsi ini kurang, enggak perlu ke luar negeri pindahnya, tapi masih pindah di dalam Republik Indonesia. Itu akan membuat competitiveness Indonesia lebih baik," paparnya.